Framing Krisis Sampah Bali dalam Media Digital: Kajian Ecomedia terhadap Narasi Pariwisata dan Lingkungan

6 hours ago 7

loading...

Tuty Ocktaviany, Mahasiswi Magister S2 Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ). Foto/Dok Pribadi

Tuty Ocktaviany
Mahasiswi Magister S2 Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ)

KRISIS sampah plastik di Bali menjadi ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sektor pariwisata . Isu ini tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga mencederai citra Bali sebagai destinasi wisata global.

Media digital, khususnya SindoNews.com, membingkai isu tersebut dalam kaitannya dengan lingkungan dan pariwisata berkelanjutan. Melalui pendekatan framing ala pakar komunikasi Entman dan gagasan ecomedia, studi ini mengkaji tahapan pemilahan topik yang diangkat dalam media, penafsiran akar masalah, evaluasi moral, dan formulasi solusi yang ditampilkan media.

SindoNews.com berperan membentuk konstruksi sosial atas isu sampah sebagai krisis ekologis yang kompleks. Media menyoroti lemahnya tata kelola sampah, rendahnya partisipasi publik, serta kebijakan pemerintah daerah yang belum konsisten. Selain menyampaikan informasi, media turut mengarahkan opini publik untuk mendukung praktik pariwisata bertanggung jawab melalui edukasi, regulasi, dan kolaborasi multipihak.

Media digital tidak sekadar menyampaikan berita, tetapi berfungsi sebagai agen perubahan sosial dalam membangun kesadaran ekologis dan mendorong transformasi menuju pariwisata berkelanjutan di Bali.

Bali dalam Bingkai Media

Pulau Bali dikenal sebagai ikon utama pariwisata, baik di tingkat nasional maupun internasional. Daya tariknya lahir dari perpaduan harmonis antara keindahan alam yang memukau, kekayaan budaya yang mengakar kuat, serta keramahan masyarakat lokal yang selalu menyambut wisatawan dengan hangat.

Dengan potensi luar biasa yang dimiliki, para pelaku industri pariwisata di Pulau Dewata terus berinovasi untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara. Salah satu pasar yang menunjukkan pertumbuhan signifikan adalah wisatawan asal Timur Tengah dan Rusia, yang kini menjadi kontributor penting dalam geliat pariwisata Bali (Sujoni, 2025).

Sejumlah kawasan ikonik seperti Tanah Lot, Ulun Danu Beratan, hingga pegunungan Kintamani tetap menjadi magnet utama bagi para wisatawan, sejalan dengan citra Bali sebagai surga wisata yang terus digaungkan media.

Khusus di Kintamani, panorama alam yang memikat berpadu dengan udara sejuk pegunungan menjadikannya destinasi favorit yang tak pernah kehilangan pesona. Beragam objek wisata menarik siap memanjakan pengunjung, seperti Pinggan Sunrise Spot yang menyuguhkan matahari terbit nan dramatis, Pura Ulun Danu Batur yang sarat nilai spiritual, serta Hutan Pinus Glagalinggah yang menenangkan jiwa.

Tak ketinggalan, Sukawana Sunrise Spot yang Instagramable, Pemandian Air Panas Toya Bungkah untuk relaksasi alami, hingga Montana del Cafe, tempat nongkrong kekinian dengan latar Gunung Batur yang memesona, menjadikan Kintamani destinasi lengkap bagi pencinta keindahan dan ketenangan (Lutfan Faizi, 2025).

Baca Juga: Heboh Turis Jijik Snorkeling, Kadispar Bali Klarifikasi Sampah di Perairan Nusa Penida Bali

Kawasan Kintamani menunjukkan performa signifikan sebagai destinasi dengan tingkat kunjungan wisatawan asing tertinggi sepanjang 2024. Berdasarkan laporan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bangli, sebanyak 275.887 wisatawan mancanegara tercatat telah mengunjungi wilayah ini, menghasilkan retribusi daerah yang mencapai lebih dari Rp19 miliar (Negara, 2025).

Tak hanya Kintamani, destinasi lain di Bangli seperti Desa Wisata Penglipuran juga menunjukkan peningkatan kunjungan yang mencolok. Desa yang dikenal akan pelestarian nilai budaya, serta kebersihan lingkungannya ini mencatat lebih dari 1 juta kunjungan wisatawan sepanjang 2024, naik dari 956 ribu pada tahun sebelumnya. Capaian ini kerap diangkat oleh media digital dalam kerangka narasi pembangunan pariwisata berkelanjutan, meskipun seringkali luput mengangkat secara proporsional isu krisis lingkungan yang menyertai lonjakan wisatawan, seperti persoalan manajemen sampah dan dampak ekologis lainnya.

Destinasi wisata berbasis spiritual dan sejarah di Bali turut menunjukkan tren kenaikan kunjungan yang signifikan, seperti yang terlihat pada Pura Kehen. Tempat ibadah ini mencatat peningkatan jumlah pengunjung dari 16.955 orang pada 2023 menjadi 32.472 orang pada 2024. Situs budaya lainnya, termasuk Situs Penulisan dan Desa Adat Terunyan, juga memperlihatkan geliat aktivitas pariwisata, dengan masing-masing memperoleh 717 dan 2.169 kunjungan sepanjang tahun berjalan.

Sementara itu, wilayah Tabanan turut mencerminkan dinamika serupa dalam pertumbuhan pariwisata pascapandemi. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Tabanan, dua ikon wisata utama, Tanah Lot dan Ulun Danu Beratan, berhasil menarik 2,81 juta wisatawan hanya dalam enam bulan pertama tahun 2024. Angka ini merepresentasikan kebangkitan pariwisata Bali setelah terdampak penurunan yang sangat signifikan pada masa pandemi dan kerap digambarkan media digital sebagai tanda pulihnya sektor pariwisata secara progresif.

Narasi pemulihan pariwisata yang mendominasi ruang digital kerap mengabaikan persoalan krusial terkait keberlanjutan lingkungan. Peningkatan kunjungan wisatawan ke berbagai destinasi tersebut beriringan dengan meningkatnya tekanan terhadap ekosistem lokal, termasuk persoalan pengelolaan sampah dan degradasi lingkungan. Kajian ecomedia menjadi penting dalam konteks ini untuk mengeksplorasi bagaimana media digital membingkai krisis lingkungan yang menyertai geliat pariwisata Bali, serta sejauh mana wacana keberlanjutan diintegrasikan dalam representasi tersebut (Iran, 2024).

Sebelum pandemi melanda, khususnya pada periode 2017 hingga 2018, sektor pariwisata di Kabupaten Tabanan menunjukkan performa yang stabil dengan angka kunjungan wisatawan yang konsisten melebihi 5 juta orang. Namun 2019 terjadi sedikit penurunan menjadi 4,9 juta, dan angka ini merosot drastis sepanjang 2020 hingga 2022 akibat pembatasan mobilitas global imbas pandemi. Tahun 2023 menjadi titik awal pemulihan, ditandai dengan lonjakan kunjungan yang mencapai 3,62 juta wisatawan.

Baca Juga: Pemkab Badung Tekan Jumlah Sampah di Bali, Ini Upayanya

Tabanan tidak hanya menawarkan ikon wisata seperti Tanah Lot dan Ulun Danu Beratan, tetapi juga memiliki keragaman destinasi yang mencakup lanskap budaya dan ekowisata, seperti kawasan persawahan Jatiluwih yang telah diakui oleh UNESCO sebagai bagian dari Warisan Dunia dalam bidang kebudayaan. Selain itu, sekitar 30 desa wisata di wilayah ini menawarkan pengalaman autentik melalui wisata berbasis alam dan budaya lokal. Dengan potensi sebesar ini, Tabanan memegang peran strategis dalam peta industri pariwisata Bali.

Namun di balik narasi media digital yang cenderung menyoroti kebangkitan pariwisata Bali secara positif, terdapat tantangan ekologis yang semakin mengkhawatirkan, terutama dalam hal pengelolaan limbah dan sampah. Peningkatan signifikan jumlah wisatawan tidak selalu diimbangi dengan praktik keberlanjutan, sehingga memperbesar potensi kerusakan lingkungan. Krisis sampah, terutama yang bersumber dari plastik, menjadi persoalan serius yang turut mencemari kawasan-kawasan wisata utama.

Pantai-pantai populer seperti Kuta dan Sanur kini menghadapi tekanan dari tumpukan sampah yang terbawa aliran sungai. Sungai-sungai yang secara ekologis berfungsi sebagai penopang kehidupan, dalam praktiknya banyak dijadikan saluran pembuangan limbah rumah tangga, limbah industri, dan sisa aktivitas ekonomi. Dalam konteks ini, penting bagi kajian ecomedia untuk mengkaji bagaimana media digital membingkai isu-isu lingkungan ini, apakah narasi yang dibangun memperkuat kesadaran ekologis atau justru menutupi kompleksitas krisis lingkungan di balik geliat industri pariwisata Bali (Purnaya & Semara, 2018) dalam (Sutrisnawati & M.Purwahita, 2018).

Memasuki musim penghujan, persoalan sampah di Bali semakin terlihat nyata. Volume limbah yang terbawa aliran sungai menuju wilayah pesisir mengalami peningkatan, mengganggu keindahan pantai yang menjadi daya tarik utama pulau ini. Selain merusak estetika, kondisi tersebut turut menciptakan kesan negatif di mata wisatawan, yang datang dengan harapan menikmati lingkungan bersih dan asri sebagai bagian dari pengalaman liburan mereka di Bali.

Permasalahan sampah masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam pengelolaan pariwisata Bali. Merujuk pada data yang dihimpun oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Bali tahun 2021, pulau ini menghasilkan sekitar 4.281 ton sampah setiap hari. Mirisnya, lebih dari 52 persen atau sekitar 2.000 ton sampah di antaranya tidak tertangani dengan baik dan akhirnya mencemari lingkungan.

Lebih parah lagi, sekitar 33.000 ton sampah plastik mencemari perairan Bali setiap tahun. Sebagian besar berasal dari aktivitas pariwisata yang tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan limbah yang efektif. Situasi ini diperburuk oleh minimnya infrastruktur pembuangan sampah. Banyak wilayah, termasuk kawasan wisata seperti Jimbaran, masih kekurangan fasilitas tempat sampah umum, yang seharusnya menjadi elemen dasar dalam pengelolaan lingkungan berkelanjutan .

Komposisi limbah yang dihasilkan di Bali menunjukkan dominasi sampah organik, seperti sisa makanan dan material alami lainnya, misalnya ranting pohon yang mencapai sekitar 68,32 persen dari total timbulan. Meskipun bersifat organik, volume limbah yang besar tetap menjadi persoalan ekologis serius jika tidak dikelola secara menyeluruh dan berkelanjutan (Hidayat, 2025).

Salah satu faktor utama penyumbang meningkatnya jumlah sampah adalah melonjaknya arus wisatawan, yang turut membawa peningkatan konsumsi produk berbahan plastik sekali pakai. Fenomena ini menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika industri pariwisata modern yang belum sepenuhnya berpihak pada prinsip ekowisata. Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Selama waktu 2000 hingga 2024, timbulan sampah di Bali meningkat hingga 30 persen, berdasarkan pernyataan Fabby Tumiwa selaku Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). Kenaikan ini mencerminkan dampak langsung dari ekspansi pariwisata, konsumsi berlebihan terhadap produk sekali pakai, serta kurangnya budaya memilah sampah di tingkat masyarakat (Ika, 2025).

Masalah pengelolaan sampah di Bali semakin kompleks akibat keterbatasan infrastruktur yang memadai. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, yang selama ini menjadi lokasi utama pembuangan sampah, kini sudah mengalami overkapasitas dan sudah melewati kapasitas daya tampung akibat lonjakan volume sampah. Hal ini menyebabkan sampah, terutama plastik, mencemari pantai-pantai dan perairan laut sekitar Bali, yang pada akhirnya mengancam keseimbangan ekosistem laut serta berdampak pada keberlanjutan mata pencaharian nelayan.

Pemerintah Provinsi Bali sebenarnya telah mengambil langkah penting dalam pengelolaan lingkungan dengan mengeluarkan Pergub No. 97 Tahun 2018 sebagai regulasi pembatasan penggunaan plastik sekali pakai. Kebijakan ini menjadi langkah awal dalam mengurangi polusi plastik, terutama di destinasi wisata utama seperti pantai dan pusat kota yang menjadi daya tarik wisatawan. Meskipun upaya ini telah dimulai, tantangan besar dalam mengatasi permasalahan sampah plastik di Bali tetap ada, karena dampaknya yang luas terhadap sektor pariwisata.

Read Entire Article
Politics | | | |