Granada, Gaza, dan Al-Aqsha

3 hours ago 4

Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute dan Ketua Umum Fordamai, dari Istanbul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah tidak selalu berulang dalam bentuk yang sama, tetapi ia kerap kembali menulis noktah sejarah dengan luka yang serupa. Dalam Konferensi Internasional Ketiga Yayasan Amanah Al-Aqsha di Istanbul pada 13-14 Desember 2025, para ulama dan cendekiawan dunia menyuarakan satu peringatan keras: apa yang terjadi di Gaza dan Al-Quds hari ini adalah gema sejarah yang menuntut sikap, bukan sekadar simpati.

Hari pertama sesi pembukaan konferensi, sejumlah lontaran pernyataan dari para tokoh cendekiawan muslim dunia masih menarik dianalisis, terutama karena menyinggung benang merah luka sejarah yang sama membentang dari bumi Gaza di abad 21 hingga Andalusia di akhir abad ke-15 masehi.

Dari Andalusia ke Gaza: Peringatan Peradaban

Prof. Dr. Muhammad Görmez, mantan Ketua Direktorat Urusan Keagamaan Turki (periode 2010-2017), mengingatkan umat pada tragedi jatuhnya Andalusia di tahun 1492 M. Ia menegaskan bahwa Andalusia runtuh bukan semata karena kekalahan militer, tetapi karena umat dipaksa memilih antara kehancuran atau tunduk pada perjanjian damai palsu. Perdamaian semacam itu, tegasnya, tidak pernah lahir di bawah bom dan tidak akan pernah tegak di atas kezaliman.

Dia menegaskan bahwa bangsa-bangsa yang tidak membela kaum tertindasnya pada akhirnya akan menjadi pihak yang tertindas. Ia memperingatkan bahwa jika Gaza—na‘udzubillah—sampai kalah, maka dampaknya akan menjalar ke seluruh kawasan, karena dunia Islam adalah satu mata rantai.

Menurut Görmez, tokoh ulama Turki yang baru saja didapuk oleh Presiden Erdogan menjadi Rektor pertama berdirinya Universitas Islam Internasional Turkiye, jeritan Granada, kekuasaan Muslim terakhir yang bertahta di Spanyol, kini hidup kembali dalam suara Gaza. Sejarah, katanya, sedang menguji nurani umat Islam: apakah akan belajar dari luka lama, atau kembali mengulang kesalahan yang sama dengan membungkus kezaliman atas nama perdamaian.

Gaza Bukan Granada

Menanggapi peringatan tersebut, Syaikh Muhammad Al-Hasan Wald Al-Deddo menyampaikan optimisme yang tegas. Ia menyatakan bahwa Gaza tidak akan menjadi seperti Granada, karena di sana masih berdiri orang-orang yang teguh, para pejuang, dan kesadaran umat yang belum padam. Jalan umat, menurutnya, telah jelas: antara kemenangan atau kesyahidan, sesuai dengan janji Ilahi yang tidak pernah ingkar.

Pernyataan ini bukan romantisasi konflik, melainkan penegasan bahwa keputusasaan adalah pintu pertama menuju kekalahan peradaban. Selama masih ada keteguhan iman dan keberanian moral, sejarah belum selesai ditulis.

Mengikuti garis peta jalan Al-Quran dalam ayat 4-8 Surah Al-Isra, perjalanan sejarah kini mulai menampakkan titik terang kembalinya generasi ‘Ibadan lana Ulii Ba’s Syadid’ (hamba-hamba Allah yang memiliki kekuatan dahsat) yang menulis ulang era keterpurukan Nakbah 1948 dan Naksah 1967 menjadi era kebangkitan Palestina untuk merebut kembali kejayaan Masjid Al-Aqsa sebagaimana era Khalifah Umar bin Khattab dan Sultan Salahuddin Ayubi.

Read Entire Article
Politics | | | |