Hari Anak Nasional 2025, Ketika Isu Kekerasan Anak Masih Jadi Bayang-Bayang

10 hours ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan terhadap anak dinilai masih menjadi isu krusial pada momen peringatan Hari Anak Nasional pada 23 Juli 2025. Menurut Ketua Ikatan Psikologi Klinis Himpunan Psikologi (IPK HIMPSI) Kalimantan Timur (Kaltim), Ayunda Ramadhani, kekerasan terhadap anak adalah fenomena gunung es, di mana kasus yang terlaporkan hanyalah sebagian kecil dari kejadian sebenarnya di lapangan.

"Kasus kekerasan pada anak tidak hanya yang terpampang di televisi, tapi sangat sering terjadi di lingkungan kita sehari-hari," ujarnya pada Selasa (22/7/2025).

Dia mengingatkan bahaya ini jauh lebih dekat dari yang kita bayangkan. Mirisnya, dari seluruh kasus yang ada, Ayunda menyebutkan sebagian besar kasus kekerasan pada anak dilakukan oleh orang yang dikenal atau orang terdekat korban. "Bisa dibayangkan ketika dunia yang mereka bergantung itu ternyata jahat sama mereka," kata Ayunda.

Kekerasan seksual menduduki peringkat pertama, diikuti kekerasan fisik yang sering terjadi dalam konteks Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan kekerasan psikologis. Mengingat dampak yang parah, Ayunda menekankan dampak kekerasan pada anak harus segera ditangani secara komprehensif dan lintas sektor, melibatkan berbagai profesional serta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.

Penanganan yang cepat sangat krusial, mengingat anak-anak belum memiliki kemampuan berpikir panjang dan membuat keputusan seperti orang dewasa. Mereka sangat rentan dan membutuhkan dukungan segera untuk memulihkan diri dari trauma.

Peran keluarga menjadi sangat vital sebagai tempat pertama tumbuhnya rasa aman dan cinta. Ayunda menekankan orang tua perlu membekali diri dengan ilmu mengendalikan emosi dan mengendalikan stres sebelum memiliki anak. Membesarkan anak adalah tantangan besar yang memerlukan kematangan emosional.

"Orang tua yang memilih memiliki anak, maka sudah semestinya mereka juga lebih matang dalam pengendalian emosinya," kata Ayunda.

Ia juga menyarankan agar orang tua tidak panik atau menunjukkan reaksi negatif jika anak menunjukkan perubahan sikap atau rewel. Sebaliknya, orang tua harus menenangkan diri dan menggunakan pendekatan yang lembut untuk mendapatkan cerita dari anak.

Ayunda menyambut baik pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di tingkat satuan pendidikan, baik SD, SMP, maupun SMA di Samarinda. Jika kasus kekerasan terjadi di sekolah, orang tua dapat melapor ke TPPK di sekolah masing-masing. Namun, apabila terjadi di luar lingkungan sekolah, seperti di rumah atau oleh tetangga, pelaporan dapat dilakukan ke UPTD PPA Kota Samarinda.

Pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak bukanlah tanggung jawab satu pihak saja. "Kontribusi harus dari seluruh masyarakat, kita harus saling bahu-membahu," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyampaikan keprihatinan atas tingginya angka kekerasan yang masih terjadi di masyarakat Indonesia. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan satu di antara dua anak Indonesia pernah mengalami kekerasan. Sata itu juga menunjukkan satu dari dua anak usia 13 hingga 17 tahun di Indonesia, atau sekitar 11,5 juta anak mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan di sepanjang hidupnya. Jumlah ini terdiri atas 5,8 juta anak laki-laki (49,83 persen) dan 5,7 juta anak perempuan (51,78 persen).

Read Entire Article
Politics | | | |