Home > Kebijakan Tuesday, 01 Apr 2025, 18:30 WIB
Transisi multi-bahan bakar harus pantau kesiapan rantai pasok.

ShippingCargo.co.id, Jakarta —Industri maritim sedang berlomba mengurangi emisi. Teknologi mutakhir seperti bahan bakar alternatif (metanol, amonia, hidrogen), propulsi hibrida, hingga penangkapan karbon terus dikembangkan. Regulasi semakin ketat: IMO 2023 memperkenalkan aturan efisiensi energi, EU ETS mulai berlaku untuk maritim pada 2024, dan FuelEU Maritime membawa target emisi yang lebih ketat.
IMO menargetkan nol emisi pada 2050, dengan pengurangan 20% pada 2030 dan 70% pada 2040. Dengan batas waktu semakin dekat, industri berpacu dengan inovasi dan, tentunya, sedikit kepanikan regulasi
Per Maritime Executive, Liberian Registry (LISCR), sebagai registri kapal terbesar, aktif membantu transisi ke nol emisi. Menurut Thomas Klenum, EVP Innovation & Regulatory Affairs, LISCR menawarkan insentif bagi kapal ramah lingkungan dan mendorong efisiensi seperti desain lambung yang lebih optimal serta propulsi berbasis angin.Mereka juga memperjuangkan pengakuan IMO terhadap teknologi penangkapan karbon.
Di sisi bahan bakar, Auramarine mengembangkan sistem suplai untuk metanol, amonia, dan biofuel. Namun, tantangannya besar: metanol butuh sistem keamanan khusus, amonia sangat beracun, dan biofuel masih terbatas skalanya. CEO John Bergman menekankan bahwa transisi multi-bahan bakar bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kesiapan rantai pasok.
Sementara itu, Cyanergy mengatasi tantangan pelaporan emisi dengan sistem pemantauan berbasis IoT. CTO Mohammed Khambaty menyebut, 90% kapal masih menggunakan perhitungan manual, yang rentan terhadap kesalahan dan denda. Dengan teknologi mereka, kapal bisa menghemat hingga $150.000 per tahun dalam biaya karbon.
Dekarbonisasi maritim bukan sekadar menemukan bahan bakar nol emisi, melainkan kombinasi inovasi, efisiensi, dan regulasi yang tepat. Industri ini masih mencari jalannya, tetapi satu hal pasti—perubahan harus dimulai sekarang.