Oleh JOHAN ROSIHAN;Anggota DPR RI Fraksi PKS
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam beberapa pemilu terakhir, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terlihat mengalami stagnasi suara, meskipun dinamika politik nasional cukup dinamis dan semakin terbuka bagi partai-partai Islam.
Realitas ini tentu menimbulkan pertanyaan serius bagi internal partai maupun publik: apa yang salah atau perlu dikoreksi? Salah satu pendekatan yang menarik untuk dikaji berasal dari tulisan Jung Hoon Park yang meneliti fenomena ini melalui lensa akademik.
Park dalam artikelnya menunjukkan bahwa stagnasi PKS tidak bisa semata-mata dijelaskan oleh faktor teknis, seperti strategi kampanye atau pilihan kandidat.
Ia mengajukan hipotesis bahwa ada perubahan mendasar dalam identitas politik PKS—khususnya akibat pergeseran dari posisi Islamis reformis ke arah partai yang lebih “normal” dalam peta politik Indonesia. Perubahan ini, menurutnya, berkontribusi besar terhadap tergerusnya basis pemilih ideologis yang dahulu begitu solid.
Pertanyaan paling relevan yang harus dijawab oleh kader dan elite partai hari ini adalah: apakah PKS masih menjadi rumah bagi pemilih Islamis yang terdidik dan kritis, seperti dulu? Ataukah justru telah menjadi partai pragmatis biasa yang hanya berlomba-lomba dalam kontestasi elektoral tanpa narasi perubahan yang kuat? Jawaban atas pertanyaan ini penting bukan hanya untuk keperluan elektoral, tetapi juga untuk keberlanjutan identitas perjuangan itu sendiri.
Kita harus menyadari bahwa partai politik berbasis ideologi seperti PKS tidak bisa bertahan hanya dengan kekuatan struktural atau mesin organisasi. Ia hidup dan tumbuh dari kepercayaan publik, terutama dari basis pemilih yang mendambakan perubahan substantif dalam sistem politik dan pemerintahan.
Ketika kepercayaan ini mulai goyah, maka yang hilang bukan hanya suara, tapi juga harapan dan makna perjuangan. Karena itu, kritik terhadap PKS, baik dari dalam maupun luar, tidak boleh dianggap sebagai serangan semata.
Kritik, jika datang dari semangat yang tulus, adalah bentuk perhatian. Dalam hal ini, tulisan Park bisa dibaca sebagai ajakan untuk melakukan muhasabah kolektif: di mana kita sekarang, dan ke mana kita hendak melangkah ke depan?