Oposisi merayakan pengambilalihan ibu kota Damaskus oleh pemberontak di Damaskus, Suriah, Ahad (8/12/2024).
REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS— Saat ini, kawasan ini menyaksikan perubahan radikal yang mengungkapkan ambisi Israel di Suriah, karena tujuan yang dinyatakannya melampaui batas keamanan nasional untuk mengenakan pakaian kolonialis kontemporer, bersembunyi di balik berbagai dalih yang bertujuan untuk membentuk kembali realitas regional mengingat persaingan internasional yang semakin meningkat.
Dalam pidatonya di Knesset pada 3 Maret 2025, Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa Israel sedang menghadapi perang di tujuh bidang.
Dia menekankan bahwa "kemenangan penuh" tetap menjadi tujuan akhir, yang terdiri dari pemulihan semua tahanan, menghancurkan kemampuan militer dan otoriter Hamas, dan memastikan bahwa Gaza tidak menimbulkan ancaman di masa depan.
Namun, pernyataan yang tampaknya defensif ini dikalahkan oleh aksi-aksi di Suriah, di mana strategi jangka panjang sedang berlangsung yang meminjam alat kolonialisme klasik untuk memaksakan hegemoni yang komprehensif, mengeksploitasi kekacauan untuk menghadapi para pesaingnya, terutama Turki, dan mendorong Suriah ke arah dua nasib yaitu perang saudara yang berlarut-larut, atau menjinakkannya dengan kekuatan militer.
BACA JUGA: Mengapa para Pembenci Membakar Alquran dan Justru yang Terjadi di Luar Dugaan?
Akar dari strategi dan alat kolonialnya
Sejak runtuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, Israel telah mengintensifkan operasi militernya di Suriah, dengan menyatakan niatnya untuk membangun zona pengaruh yang membentang sejauh 60 kilometer di dalam wilayah Suriah, dengan dalih untuk mencegah transfer persenjataan berat kepada faksi-faksi seperti Hayat Tahrir al-Sham atau Hizbullah.
Namun, tujuan keamanan ini hanyalah tabir yang menyembunyikan ambisi kolonial yang lebih dalam yang bergantung pada metode historis yang telah terbukti efektif dalam mematahkan kehendak rakyat.