REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya menetapkan tersangka dalam kasus korupsi pemberian fasilitas kredit sejumlah bank pemerintah kepada PT Sritex. Pada Rabu (21/5/2025) penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Sritex 2005-2022 Irwan Setiawan Lukminto (ISL) sebagai tersangka utama. Dua tersangka lainnya adalah Dicky Syahbandinata (DS) yang diketahui selaku Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank Jawa Barat (Jabar) Banten (BJB), serta Zainuddin Mappa selaku Dirut Bank DKI 2020.
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menerangkan, penetapan ketiga tersangka itu setelah tim penyidik memeriksa sembilan orang saksi pada Rabu (21/5/2025). Dan dari gelar perkara hasil pemeriksaan, penyidik menemukan cukup bukti untuk penetapan tersangka.
“Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap DS, kemudian ZM, dan ISL, penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menetapkan ketiga orang tersebut sebagai tersangka,” kata Qohar di Gedung Bundar, Kompleks Kejagung, Jakarta, Rabu (21/5/2025) malam.
ISL, sebelum ditetapkan sebagai tersangka, pada Selasa (20/5/2025) sudah terlebih dahulu dilakukan penangkapan. Penyidik menciduknya di Solo, Jawa Tengah (Jateng) karena ditengarai bakal melarikan diri. Qohar melanjutkan dalam pengusutan korupsi terkait PT Sritex ini, penyidik total sudah memeriksa 55 orang sebagai tersangka, dan satu ahli. Qohar menegaskan korupsi yang menyeret PT Sritex sebagai objek penyidikan, terkait dengan penyimpangan dan pemberian, dan penggunaan fasilitas kredit setotal Rp 3,58 triliun oleh bank-bank pemerintah nasional, dan daerah.
Kronologi kasus
“Bahwa ketiga tersangka tersebut, telah cukup alat bukti atas tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit dari beberapa bank pemerintah kepada PT Sritex Rejeki Isman Tbk dengan nilai outstanding, atau tagihan yang belum dilunasi sebesar Rp 3,58 triliun sampai dengan Oktober 2024,” begitu kata Qohar. Kata Qohar, dalam kasus ini PT Sritex sebetulnya sebagai debitur yang memiliki tanggung jawab, dan kewajiban pembayaran utang terhadap dua bank milik pemerintah daerah, dan himbara, serta sindikasi.
Masing-masing Bank Jawa Tengah (Jateng) sebesar Rp 395,6 miliar. Lalu Bank BJB sebesar Rp 543,9 miliar. Kemudian Bank DKI sebesar Rp 149 miliar. Selanjutnya PT Sritiex juga sebagai pasien kredit dari bank-bank plat merah nasional, maupun lembaga pembiayaan. Seperti Bank BNI, Bank BRI, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang totalnya mencapai Rp 2,5 triliun. Kata Qohar, untuk kesetaraan atas hak dalam proses hukum, juga disebutkan adanya 20 bank swasta yang menjadi kreditur atas PT Sritex.
Kata Qohar, dalam pemberian fasilitas kredit terhadap PT Sritex tersebut, penyidik mengungkapkan adanya perbuatan-perbuatan yang dilakukan sengaja dengan melanggar hukum. Pun yang menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara. Kata Qohar, PT Sritex merupakan perusahaan di bidang industri, dan produk tekstil milik swasta yang kepemilikan modalnya terdiri dari PT Huddleston Indonesia sebesar 59,03 persen. Sedangka sisanya 40,97 persen adalah milik publik lantaran berstatus terbuka (Tbk).
Menurut Qohar dalam laporan keuangan PT Sritex didapat adanya nilai kerugian mencapai 1,08 miliar dolar AS atau setara Rp 15,56 triliun pada pembukuan 2021. Namun kata Qohar, catatan ‘buntung laba’ itu mencurigakan karena sebelumnya, perusahaan tekstil yang berada di Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng) itu meraup untung setotal 85,32 juta dolar AS, atau setara Rp 1,24 triliun.
“Jadi awalnya ini ada keganjilan yang terjadi dalam satu tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan, kemudian pada tahun berikutna mengalami kerugian yang juga sangat signifikan,” kata Qohar.
Keganjilan tersebut, kata Qohar terungkap setelah penyidik juga menetahui PT Sritex dan unit-unit perusahaan anak mempunyai kredit dengan kewajiban tagih yang belum dilunasi sebesar Rp 3,58 triliun pada 2024. “Utang-utang tersebut adalah kepada beberapa bank milik pemerintah, baik Bank Himbara, himpunan bank milik negara, maupun bank milik pemerintah daerah,” ujar Qohar.
Akan tetapi dalam keadaan memiliki kewajiban bayar itu, PT Sritex mengajukan kredit tambahan.
Dan pengajuan kredit tersebut, disetujui oleh ZM selaku Dirut Bank DKI. Bank BJB, melalui DS juga turut menyetujui pemberian kredit untuk perusahaan tekstil terbesar di Indonesia itu. Namun dalam memberikan kredit tersebut, dilakukan secara melawan hukum. Karena kata Qohar bank-bank tersebut tidak melakukan analisa yang memadai. Dan dikatakan, pemberian fasilitas kredit tersebut tidak mentaati prosedur serta persyaratan yang ditetapkan. Salah-satunya, terkait dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat PT Sritex untuk mendapatkan kredit modal kerja.
“Dikarenakan hasil penilaian dari lembaga peringkat fitch and moody’s disampaikan bahwa, PT Sritex Tbk hanya memperoleh predikat BB- (minus) atau memiliki risiko gagal bayar yang lebih tinggi,” ujar Qohar.
Padahal kata Qohar seharusnya PT Sritex sebagai perusahaan, atau badan hukum korporasi semestiya memiliki rating A untuk dapat menjadi debitur. “Sehingga perbuatan pemberian kredit tersebut bertentangan dengan ketentan standar operasional prosedur bank, serta Undang-undang (UU) 10 tahun 1998 tentang Perbankan,” begitu kata Qohar.
Dan setelah mendapatkan fasilitas kredit tersebut, ISL selaku Dirut PT Sritex menggunakan penggelontoran dana dari bank-bank tersebut untuk keperluan pribadi. Padahal dikatakan, peruntukan dari pemberian kredit tersebut semestinya untuk modal kerja bagi PT Sritex. “Bahwa ISL tidak mempergunakan dana pemberian kredit tersebut untuk modal kerja. Tetapi disalahgunakan untuk membayar utang-utang pribadi, dan membeli aset-aset yang nonproduktif yang tidak sesuai dengan peruntukannya,” kata Qohar. Kondisi tersebut membuat PT Sritex mengalami kemacetan pembayaran kredit, lalu gagal bayar, yang membuat PT Sritex pailit.
“PT Sri Rejeki Isman (Sritex) mengalami macet dengan Kolektabilitas-5, dengan aset-aset perusahaan yang tidak bisa dieksekusi untuk menutupi nilai pemberian kredit,” kata Qohar. Akibat dari situasi tersebut, mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 692,9 miliar dari total Rp 3,588 triliun fasilitas kredit yang diberikan oleh bank-bank milik pemerintah kepada PT Sritex.
“Bahwa akibat adanya pemberian kredit setelah melawan hukum yang dilakukan oleh PT Bank BJB dan Bank DKI kepada PT Sritex telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp 692,9 miliar dari total nilai outstanding atau target yang belum dilunasi sebesar Rp 3,588 triliun,” kata Qohar.