Study Rizal Lolombulan Kontu
Agama | 2025-03-31 09:56:47
Ketika pasukan Muslim yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad menyeberangi Selat Gibraltar pada tahun 711 M, mereka menghadapi tantangan besar. Di hadapan mereka terbentang tanah asing dengan pasukan yang lebih besar dan medan yang belum dikenali. Namun, alih-alih ragu atau gentar, Thariq mengambil keputusan yang mengubah jalannya sejarah: ia membakar kapal-kapal yang mereka gunakan untuk menyeberang. Dengan tindakan ini, ia menegaskan kepada pasukannya bahwa tidak ada jalan kembali. Satu-satunya pilihan adalah maju dan berjuang hingga meraih kemenangan.
Keputusan ini bukan sekadar strategi militer, tetapi juga lambang dari keberanian dan keyakinan. Dengan menghilangkan kemungkinan mundur, Thariq mengajarkan bahwa kemenangan sejati hanya datang ketika seseorang bersungguh-sungguh dalam perjuangannya, tanpa tergoda untuk kembali pada zona nyaman. Dan hasilnya? Pasukan Muslim berhasil menguasai Andalusia, membuka jalan bagi peradaban Islam yang berkembang di Eropa selama berabad-abad.
Dalam banyak hal, perjalanan Ramadhan dan perayaan Idulfitri mencerminkan kisah ini. Ramadhan adalah masa perjuangan, di mana setiap Muslim diuji untuk menaklukkan dirinya sendiri—melawan hawa nafsu, menahan lapar dan dahaga, serta memperbanyak ibadah. Setiap hari adalah pertempuran kecil, dan setiap malam adalah kesempatan untuk merefleksikan sejauh mana seseorang telah melangkah dalam perjalanan spiritualnya.
Kemudian, datanglah hari kemenangan: Idulfitri. Namun, seperti kemenangan Thariq yang tidak berhenti pada satu pertempuran, kemenangan sejati di hari Lebaran bukan sekadar kembali pada kebiasaan lama setelah sebulan penuh ibadah. Lebaran bukan sekadar perayaan, tetapi momentum untuk mengukuhkan perubahan. Seperti pasukan Thariq yang tidak memiliki jalan kembali, seorang Muslim idealnya tidak kembali pada kebiasaan lama yang bertentangan dengan nilai-nilai yang telah diperjuangkan selama Ramadhan.
Jika kapal Thariq yang terbakar adalah simbol dari keberanian untuk terus maju, maka dosa dan kebiasaan buruk yang ditinggalkan selama Ramadhan adalah kapal yang seharusnya tidak kita bangun kembali. Kemenangan sejati bukan hanya tentang menikmati hasil, tetapi memastikan bahwa perubahan yang telah terjadi tetap bertahan. Lebaran adalah tanda bahwa seseorang telah melewati ujian, tetapi ujian yang lebih besar adalah bagaimana menjaga konsistensi setelahnya.
Seperti kisah Andalusia yang menjadi titik awal peradaban besar, Idulfitri seharusnya menjadi titik awal bagi setiap Muslim untuk terus memperbaiki diri. Kemenangan tidak hanya dirayakan, tetapi juga dijaga, agar ia tidak menjadi sekadar euforia sesaat, melainkan langkah awal menuju kehidupan yang lebih baik.
* Penulis adalah dosen FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.