Ketika Tuntutan Kebenaran Vs. Tuntutan Pidana: SLAPP dan Rusaknya Governance

2 hours ago 2

Kebebasan berpendapat (ilustrasi).

Oleh : M. Farid Wajdi, Guru Besar Ilmu Manajemen (Direktur Pascasarjana UMS)

REPUBLIKA.CO.ID, Sesuai prinsip good governance dan pandangan demokrasi modern, kritik tuntutan transparansi terhadap pimpinan adalah mekanisme kesehatan organisasi publik. Namun, di Indonesia kita menyaksikan fenomena yang mulai mengkhawatirkan. Ketika publik mempertanyakan legalitas atau transparansi pejabat negara, jawabannya bukan klarifikasi, melainkan pelaporan balik, tuduhan pencemaran nama baik, bahkan kriminalisasi.

Sebagai contoh kasus polemik ijazah Presiden. Polemik ini bukannya ditunjukkan dan diselesaikan secara administratif, namun justru dijawab dengan memenjarakan penanya. Hal ini menjadi ironi yang menggerogoti akal sehat demokrasi.

Fenomena ini memiliki istilah ilmiah yang sudah lama dikenal di bidang hukum: SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation). George Pring dan Penelope Canan (1996), dua akademisi yang mempopulerkan konsep SLAPP, menulis bahwa SLAPP adalah “a lawsuit filed to intimidate and silence critics by burdening them with legal defense costs until they abandon their criticism” (gugatan hukum yang diajukan untuk mengintimidasi dan membungkam para kritikus dengan membebani mereka dengan biaya pembelaan hukum hingga mereka menghentikan kritik mereka)”. Inti SLAPP bukan kebenaran, tapi efek jera. Bukan keadilan, tapi membungkam partisipasi publik.

Ketika kritik justru dibalas dengan proses pidana, pesan yang muncul adalah: berani bertanya, siap masuk penjara. Di sinilah bahaya sistemiknya: hukum berubah dari mekanisme mencari kebenaran menjadi alat menaklukkan lawan narasi. Padahal pejabat publik memiliki beban transparansi yang jauh lebih tinggi daripada warga biasa. Pertanyaan publik mengenai dokumen akademik seorang presiden seharusnya dijawab dengan bukti, bukan BAP.

Kasus Mirip

Kita pernah melihat pola serupa di banyak negara. Di Filipina, pemerintahan era Duterte menggunakan pasal pencemaran nama baik dan UU antiteror untuk menekan jurnalis yang mengungkap korupsi negara. Di Amerika Serikat, perusahaan energi dan tambang kerap menggugat aktivis lingkungan untuk “membuat mereka sibuk di pengadilan sambil menghentikan demonstrasi.” Rendahnya kualitas demokrasi selalu ditandai oleh satu pola: kritik dianggap ancaman, bukan pengawasan.

Read Entire Article
Politics | | | |