REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Setiawan Budi Utomo, Direktur Otoritas Jasa Keuangan
Pemerintah kita belakangan ini gemar membuat gebrakan mengejutkan. Belum reda gaung Danantara sebagai pengelola aset negara terbesar, lalu muncul program Sekolah Rakyat yang menjanjikan revolusi pendidikan akar rumput. Kini, hadir lagi program besar-besaran: pembentukan 80.000 Koperasi Merah Putih di desa-desa hingga Oktober 2025.
Angka fantastis ini sontak menyita perhatian publik. Tapi juga memunculkan tanya “apakah ini langkah nyata untuk memperkuat ekonomi kerakyatan, atau sekadar euforia kebijakan yang nasibnya akan senasib dengan program-program sebelumnya, viral sesaat, lalu lenyap ditelan laporan akhir tahun?”
Kita masih ingat proyek Koperasi Unit Desa (KUD) era Orde Baru. Ribuan koperasi didirikan secara top-down dengan janji kemakmuran desa, namun banyak yang mati suri, dikooptasi elit lokal, atau hanya jadi alat distribusi pupuk dan politik. Kini, sejarah seolah terulang hanya dengan nama dan branding yang lebih nasionalistik: Merah Putih.
Bisa Jadi Game Changer
Terlepas dari skeptisisme, koperasi sebenarnya punya potensi luar biasa. Di desa, koperasi bukan sekadar lembaga simpan pinjam, tetapi bisa menjadi holding entity: rumah besar yang menaungi berbagai usaha rakyat dari BUMDes, kelompok tani, nelayan, pengrajin, hingga komunitas digital kreatif. Jika dibentuk dengan benar, koperasi bisa menjadi mesin integrasi ekonomi desa yang selama ini tercerai-berai.
Model seperti ini telah berhasil di beberapa negara. Di Finlandia, koperasi pertanian bertransformasi menjadi rantai supermarket nasional. Di Jepang, koperasi nelayan menjadi eksportir tuna terbesar. Lalu, mengapa kita masih gagal mengonsolidasikannya?
Koperasi Merah Putih berpotensi menjadi inkubator UMKM desa. Dengan skema pembinaan yang terintegrasi akses modal, pelatihan keterampilan, literasi digital, dan jaringan pemasaran koperasi bisa melahirkan gelombang pelaku usaha desa yang mandiri dan berdaya saing.
Bayangkan jika koperasi benar-benar berfungsi sebagai inkubator usaha desa. UMKM lokal bisa mendapat pendampingan, peningkatan kapasitas, bahkan peluang ekspor. Desa-desa tidak lagi hanya mengandalkan dana transfer pusat, tapi tumbuh dari kekuatannya sendiri. Inilah ekonomi kerakyatan sejati berbasis komunitas, inklusif, dan berkelanjutan.
Namun, idealisme ini hanya bisa terwujud jika koperasi dijalankan secara profesional, jauh dari praktik asal-asalan, dan bebas dari kooptasi politik lokal. Semua ini hanya mungkin jika koperasi dikelola profesional dan dilindungi dari intervensi politik jangka pendek.
Tapi, jangan mudah puas dulu. Risiko besar mengintai. Kredit macet yang tinggi, pengelolaan koperasi yang sering asal-asalan, dan tantangan berat dari fintech serta bank digital yang makin agresif. Ini ujian nyata bagi kita semuaapakah koperasi hanya jadi “proyek pencitraan” atau benar-benar transformasi ekonomi?
Tanpa perombakan sistemik, koperasi hanya akan menjadi bangunan kosong penuh papan nama, tapi tak punya nyawa ekonomi.
Membangun Koperasi yang Profesional Digital dan Inklusif
Solusi yang ditawarkan bukan sekadar pembaruan nama, tetapi pembaruan paradigma. Jika kita tak ingin mengulang kegagalan masa lalu, maka Koperasi Merah Putih harus tampil sebagai koperasi generasi baru yang profesional, digital, dan inklusif. Profesional berarti koperasi dikelola oleh sumber daya manusia yang benar-benar memahami bisnis dan tata kelola modern, bukan sekadar diisi oleh aparatur desa atau tokoh lokal tanpa kompetensi manajerial.
Digital menandakan keterhubungan koperasi dengan ekosistem teknologi terkini dari marketplace, sistem pembayaran digital, hingga akuntansi berbasis cloud yang transparan dan akuntabel. Sementara itu, inklusif berarti membuka ruang sebesar-besarnya bagi pemuda, perempuan, dan petani milenial untuk menjadi penggerak utama, bukan hanya pelengkap struktur. Koperasi harus menjadi pusat inovasi ekonomi desa, bukan sekadar perpanjangan tangan proyek kementerian yang berumur pendek dan miskin dampak.
Jangan Jadi Janji Musiman
Koperasi Merah Putih adalah momentum emas. Tapi peluang hanya berarti jika diiringi eksekusi nyata dan keberanian politik jangka panjang. Jangan sampai 80.000 koperasi itu menjadi kuburan uang rakyat, seperti program-program masa lalu yang berakhir tanpa jejak.
Jika koperasi ini hidup dan berkembang, desa-desa kita bisa bangkit menjadi poros baru perekonomian nasional kuat, mandiri, dan berdaulat.
Jangan sampai koperasi Merah Putih hanya jadi janji manis yang lewat di tengah kampanye. Mari kita kawal bersama agar koperasi benar-benar jadi pilar ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya!