REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tingkat literasi keuangan syariah dan inklusi syariah memunculkan gap yang cukup dalam, atau bahkan jomplang. Menanggapi hal itu, Ekonom yang juga Ketua Center for Sharia Economic Development of Institute for Development of Econimics and Finance (CSED Indef) Nur Hidayah menyampaikan lima faktor yang menyebabkan kondisi tersebut.
Diketahui berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) Tahun 2025, indeks literasi keuangan syariah berada di angka 43,42 persen, sedangkan angka inklusi keuangan syariah hanya 13,41 persen.
Tingkat literasi dan keuangan syariah juga terbilang masih jauh dibandingkan tingkat literasi dan inklusi keuangan konvensional yang masing-masing yakni mencapai 66,45 persen dan 79,71 persen.
“Mengenai tingginya tingkat literasi keuangan syariah yang tidak sebanding dengan tingkat inklusinya, terdapat beberapa faktor yang dapat menjelaskan fenomena ini,” ujar Nur kepada Republika, Senin (12/5/2025).
Pertama, keterbatasan akses dan infrastruktur. Nur mengatakan, meskipun pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah meningkat, akses terhadap layanan keuangan syariah masih terbatas. Terutama di daerah perdesaan dan wilayah Indonesia bagian tengah dan timur.
“Hal ini menghambat masyarakat untuk memanfaatkan produk dan layanan keuangan syariah meskipun mereka telah memahami konsepnya,” ungkapnya.
Kedua, kurangnya dukungan dari tokoh masyarakat. Menurut Nur, dukungan dari pemimpin komunitas dan tokoh agama sangat penting dalam mendorong masyarakat untuk menggunakan layanan keuangan syariah.
“Kurangnya rekomendasi atau dukungan dari tokoh-tokoh ini dapat menyebabkan masyarakat ragu atau enggan beralih ke layanan keuangan syariah,” ujarnya.
Ketiga, persoalan persepsi dan preferensi masyarakat. Nur menuturkan, beberapa masyarakat mungkin memiliki persepsi bahwa produk keuangan syariah lebih kompleks atau kurang menguntungkan dibandingkan dengan produk konvensional. Selain itu, ada anggapan bahwa produk keuangan syariah hanya ditujukan untuk kalangan tertentu, seperti orang tua, sehingga generasi muda kurang tertarik untuk menggunakannya.
Keempat, keterbatasan produk dan inovasi. Industri keuangan syariah dinilai belum menawarkan variasi produk yang setara dengan industri keuangan konvensional, terutama dalam hal inovasi digital dan kemudahan akses.
“Hal ini dapat membuat masyarakat lebih memilih layanan keuangan konvensional yang dianggap lebih praktis dan sesuai dengan kebutuhan mereka,” kata Nur.
Kelima, kebutuhan dan kemampuan finansial. Nur menyebut, sebagian masyarakat mungkin memahami konsep keuangan syariah, namun belum memiliki kebutuhan atau kemampuan finansial untuk menggunakan produk-produk tersebut. Misalnya, mereka belum memiliki dana yang cukup atau belum merasa perlu untuk menggunakan layanan keuangan syariah.
“Untuk mengatasi kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan syariah, diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga keuangan, tokoh masyarakat, dan media, untuk meningkatkan akses, inovasi produk, dan edukasi yang lebih menyeluruh kepada masyarakat,” tutup Nur.