Mandau Dayak: Seni, Budaya dan Spritual yang Mengagumkan

10 hours ago 6
Beragam gagang Mandau dari pelbagai etnik. (Jurnal Kajian Budaya, Memetika)Beragam gagang Mandau dari pelbagai etnik. (Jurnal Kajian Budaya, Memetika)

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Siapa tak kenal Mandau Dayak? Selain sebagai senjata khas suku Dayak Kalimantan, ternyata memiliki fungsi kultural.

Jauh dari apa yang dipahami sebagian masyarakat sebagai senjata saja. Saat ini terjadi distorsi pemahaman oleh generasi muda terhadap fungsi artefak ini.

Dalam perspektif sebagai artefak, distorsi makna itu berpotensi mengganggu transformasi budaya Indonesia sebagai bangsa yang menghormati para leluhur pencipta benda-benda kultural adiluhung.

Demikian riset Basuki Teguh Yuwono, S3 Kajian Seni Institut Seni Indonesia, Surakarta, dalam Memetika: Jurnal Kajian Budaya Vol. 4 No. 2 (2022).

Menurut Basuki, berdasar pengamatan visual, literer, dan informasi narasumber terkuak adanya fungsi-fungsi fundamental Mandau.

Mandau, dalam jurnal Kajian Budaya terkait, adalah karya cipta budaya masyarakat suku Dayak yang mampu menunjukkan tingkat peradaban tertinggi dalam bidang seni tempa logam.

Mandau mencerminkan kristalisasi dari karakter dan nilai-nilai yang turut membentuk identitas masyarakat Dayak di sepanjang pulau Kalimantan. Mandau bukan semata-mata karya logam yang hanya memenuhi aspek keindahan, namun di dalamnya terkandung nilai-nilai simbolis.

Yang mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat dayak, seperti: filosofi, spiritual-riligius, sosial, mitis-magis, dan lain sebagainya.

Masyarakat Dayak bahkan menempatkan Mandau semacam bahasa visual bagi norma, etika, adat-istiadat dan identitas segala aspek kehidupan mereka.

Simbol Persaudaraan dan Identitas Adat

Mandau bagi masyarakat Dayak menjadi simbol persaudaraan, watak ksatria, penjaga, tanggung jawab, kedewasaan, strata sosial, identitas adat, dan lainnya.

Senjata berbentuk seperti pedang ini terdiri dari pegangan, sarung, dan bilah. Mandau terbuat dari batu khusus yang berjenis mantikei. Batu ini punya unsur besi yang dominan.

Akan tetapi di masa kekinian, Mandau juga diproduksi dari bahan logam. Hanya Mandau asli dan tua yang menggunakan batu mantikei. Meski sebagai senjata, Mandau juga menjadi simbol ksatria, penjaga, tanggung jawab, dan persaudaraan bagi masyarakat Dayak.

Dilihat dari aspek spiritual, kehadiran Mandau senantiasa dianggap penting dan harus ada dalam setiap upacara adat seperti Melas/ kelahiran, Plulukng Pruku/ perkawinan, Balian/pengobatan, Kwankai/ kematian, Besara/ keadilan dan Antang/ denda adat, dan lainnya.

Keberadaan Mandau yang demikian sentral dalam kehidupan masyarakat Dayak, memposisikan Mandau sebagai bagian kelengkapan hidup yang penting dan harus selalu ada di sisi mereka. Mandau demikian lekat dalam alam pikir dan perilakumasyarakat Dayak dari waktu ke waktu dalam perjalanan sejarahnya yang panjang.

Jejak-jejak Mandau dalam bidang arkeologis sangat terbatas. Selain terbatasnya karya budaya ini sebagai objek penelitian, juga dikarenakan minimnya data-data pedukung mengenai Mandau yang telah ditemukan.

Masyarakat Dayak pun rata-rata menganggap membicarakan Mandau dianggap jariiq atau tabu. Jejak-jejak keberadaan mandau dijumpai pada artefak bekal kubur atau kelengkapan upacara berupa besiq silif.

Artefak ini telah ditemukan diberbagai wilayah di Borneo khususnya di Borneo Timur. Besiq silif yang ditemukan umumnya berupa sejenis paku, mata tombak, pisau, dan parang atau bilah Mandau.

Mandau yang dijumpai sebagai bekal kubur pada kuburan-kuburan kuno suku Dayak rata-rata menunjukkan ciri yang hampir sama dengan keris-keris di Jawa. Yang dibuat kisaran abad ke-9 (tangguh Budha).

Jejak Tertua Mandau

Bahkan beberapa menunjukkan usia yang jauh lebih tua. Beberapa temuan besiq silif di antaranya pernah ditemukan di daerah Sekolaq Darat, Borneo Timur. Temuan-temuan tersebut dua di antaranya telah merujuk pada prototipe bentuk Baleo dan Mandau yang telah sempurna.

Jejak tertua tentang Mandau pada prasasti dijumpai pada Prasasti batu tulis Nanga Mahab, di Kampung Pait, Desa Sebabas, Kecamatan Nanga Mahap, Kab. Sedadu, Kalimantan Barat.

Prasasti yang dikuir kisaran tahun 650 M dengan huruf palawa tersebut dipahat ornament menyerupai bentuk bilah Mandau dan Keris pada baris keempat. Pada prasasti tersebut tampak jelas bentuk bilah Mandau yang diukir indah.

Karya cipta budaya masyarakat Dayak berupa Mandau senantiasa lekat dengan pelbagai aktivitas spiritual, demikian pula Mandau merupakan bahasa ungkap interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat Dayak.

Selain itu Mandau juga secara aktif digunakan sebagai perkakas hidup yang efektif dalam kehidupan sehari-hari. Yang dibuat dengan sentuhan keindahan yang demikian halus (lolakng atau nyorikng bulauw).

Bahkan tidak hanya sebatas memikat atas panca indera melainkan merasuk lebih dalam pada penikmatan keindahan rasa.

Selain itu, Mandau dalam budaya Dayak tidak mungkin dijumpai dalam bentuk yang identik, dikarenakan menjadi salah satu karya budaya yang lebih menekankan aspek kebebasan kreatif dan ekspresi. Meski begitu Mandau dibuat dengan tetap memegang teguh kaidah-kaidah yang bersifat pakem dan rumit.

Fungsi Spiritual

Data-data arkeologis menunjukkan bahwa pada awal-mulanya Mandau dihadirkan sebagai sarana kelengkapan upacara spiritual.

Kemudian lambat laun dipercaya mengandung kekuatan gaib sebagai manifestasi dari kekuatan adikodrati yang absolut.

Kepercayaan ini berhubungan dengan sistem keyakinan asli orang Indonesia yang panteistik (Sumardjo, 2002:11-12). Mandau dipercaya memiliki kekuatan magis (manifestasi daya adikodrati). Sehingga harus ada dalam setiap upacara adat. Dianggap jariiq / tabu bila suatu upacara adat tidak dilengkapi Mandau.

Sejarah Mandau juga dapat ditelusur melalui seni tari. Claire Holt dalam buku yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Soedarsono menjelaskan bahwa prosesi upacara adat dengan gerakan-gerakan ritmis telah dilakukan semenjak era prasejarah.

Pada umumnya gerakan-gerakan tari tersebut bagian dari upacara persembahan yang bersifat sakral (2000:1-14). Mandau yang menjadi properti tari telah lekat dalam dunia seni tari semenjak ratusan tahun yang silam, dan tetap lestari dan berkembang hingga kini.

Mandau menjadi salah satu ciri khas dalam seni tari masyarakat Dayak (Seki, wawancara 2014). Beberapa tarian suku dayak yang menggunakan mandau antara lain: Tari Pengayauan, Tari Mandau, Tari Kancet Papatai/Kancet Pepatay/ Tari perang.

Ada juga tari Bellian Bawo (dayak Tunjung), Tari Bellian Sentiu (Dayak Benuaq), Tari Parang Maya, Tari Kuyang (Dayak Benuaq), Tarian Pecuk Kina (Dayak Kenyah), Tarian Ngerangkau, Tari Hudog, Tari Tambun Jua, dan Tari Kancet Punan Letto.

Keberadaan Mandau dalam masyarakat Dayak di masa lampau juga dapat dilihat dari aktivitas-aktivitas upacara adat.

Masyarakat Dayak melakukan upacara pada hari kelahiran hingga kematian di mana upacaraupacara adat tersebut senantiasa dilengkapi dengan Mandau.

Dapat dicontohkan antara lain: upacara melas/meloloos atau marau (kelahiran), upacara Maragenitng, upacara Plulukng pruku (pernikahan), upacara Beliatn (penyembuhan), upacara Tutus Adat, upacara Pengayauan, upacara Nalitn Taotn, Kwangkai (kematian), upacara Besara (Peradilan Adat), upacara kesuburan ladang (Nukar), Penjaga Toengan/lumbung padi, bekal kubur (besiq silif).

Yan Andri/ Memetika: Jurnal Kajian Budaya Vol. 4 No. 2 (2022).

Read Entire Article
Politics | | | |