Marsinah, Sang Martir Pergerakan Buruh Indonesia

2 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Marsinah tercatat dalam catatan Organisasi Buruh Internasional atau International Labor Organization (ILO) dengan nomor 1773. Catatan itu sekaligus menjadi catatan kelam bangsa dan negara Indonesia dalam perjuangan buruh dan hak asasi manusia (HAM).

Pada 8 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk, Jawa Timur. Saat ia tak bernyawa, usianya masih terbilang muda: 24 tahun.

Setelah proses autopsi, terdapat berbagai luka penyiksaan berat pada jenazah itu, seperti patah tulang di beberapa bagian kemaluan, pendarahan, hingga tulah panggul yang hancur.

Marsinah lahir di Nganjuk pada 10 April 1969. Pada usia 24 tahun itu, ia tercatat sebagai seorang buruh PT Catur Putra Surya (CPS).

Ia aktif dalam berbagai aksi unjuk rasa buruh. Salah satunya, upaya mogok kerja untuk memprotes upah buruh.

Saat itu, buruh PT CPS digaji Rp1.700 per bulan. Padahal, berdasarkan KepMen 50/1992, upah minimum regional (UMR) Jawa Timur saat itu sebesar Rp2.250 per bulan.

Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992 kemudian meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen. Namun, ini tidak disetujui banyak pengusaha, termasuk pihak PT CPS.

Dengan demikian, aksi-aksi yang dilancarkan Marsinah bersama kawan-kawannya sesungguhnya berada dalam koridor aturan yang berlaku. Mereka hanya ingin aturan diterapkan dan ditegakkan.

Karena seruan tak didengar, Marsinah dan kawan-kawan pun melancarkan mogok kerja. Ini dilakukan pada 3-4 Mei 1993.

Di samping kenaikan upah, ada 11 tuntutan lainnya yang disuarakan. Tercatat, sekira 150 dari 200 buruh perusahaan itu mengikuti mogok kerja.

Tak hanya PT CPS yang reaktif. Aksi buruh ini kemudian membuat Koramil setempat ikut turun tangan.

Pada 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif menggelar aksi bersama rekan-rekannya. Ia termasuk dari 15 orang karyawan yang berunding dengan pihak perusahaan. Kesepakatan bahkan telah terjadi antara perusahaan dan kelompok buruh.

Namun, sebanyak 13 orang buruh kemudian dipaksa mengundurkan diri dari perusahaan. Mereka juga digiring ke Kodim Sidoarjo.

Pada tanggal 6 Mei 1993, ada hari libur nasional Waisak. Keesokan harinya, pada 7 Mei 1993 buruh kembali bekerja.

Namun, Marsinah tak tampak sejak tanggal 5 Mei 1993. Tiga hari lamanya ia dilaporkan hilang. Hingga akhirnya, jenazahnya ditemukan pada 8 Mei 1993.

Untuk menyelidiki kematian Marsinah, dibentuklah Tim Terpadu Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional di tingkat Daerah (Bakorstanasda) pada 30 September 1993. Tim itu dikomandoi oleh Polda Jawa Timur.

Delapan orang dari PT CPS disebut ditangkap diam-diam. Mereka di antaranya adalah pihak sekuriti hingga Bos PT CPS Yudi Susanto. Ada pula Mutiari, Kepala Personalia PT CPS yang merupakan satu-satunya perempuan yang ditangkap dan keguguran saat ditangkap.

Berdasarkan laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Ke Arah Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Kajian Kasus-Kasus Penyiksaan Belum Terselesaikan (1995), selama 19 hari mereka berada di Kodam V Brawijaya tanpa sepengetahuan keluarga. Mereka disebut mengalami siksaan fisik dan mental selama diinterogasi di Kodam agar mereka mau dituding sebagai perencana pembunuhan Marsinah.

Setelah itu, pada 21 Oktober 1993, mereka diserahkan ke Polda Jatim hingga berlanjut pada persidangan. Setelah penyiksaan yang mereka alami, mereka divonis bersalah dan divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Surabaya dengan hukuman beragam, mulai empat tahun penjara hingga belasan tahun penjara.

Mereka yang divonis ini tak terima dan mengajukan banding. Baru pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa. Mereka bebas pada 3 Mei 1995. Namun, pembunuh Marsinah hingga kini masih menjadi misteri yang enggan dipecahkan di meja hijau.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam Kasus Nomor 1773 menyesalkan kasus ini. Komite ILO menyebut kasus ini sebagai pelanggaran sangat serius terhadap hak pekerja dan hak azasi manusia. Berikut tertulis dalam laporan ILO nomor 1773 poin 230 tahun 1999:

"Selama pemeriksaan sebelumnya atas kasus ini, Komite telah mencatat bahwa kasus ini merupakan kasus yang sangat serius atas pelanggaran hak-hak serikat pekerja di Indonesia terkait dengan penolakan hak pekerja untuk mendirikan organisasi yang mereka pilih sendiri, campur tangan yang terus-menerus oleh otoritas pemerintah, militer dan pengusaha dalam kegiatan serikat pekerja, dan pembatasan perundingan bersama dan aksi mogok. Kasus ini juga meliputi tuduhan serius yang melibatkan pembunuhan, penghilangan, penangkapan dan penahanan sejumlah pemimpin dan pekerja serikat pekerja."

sumber : Pusat Data Republika

Read Entire Article
Politics | | | |