Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Djuyamto (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025). Kejagung menetapkan tiga hakim yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom sebagai tersangka kasus dugaan suap dan atau gratifikasi terkait dengan putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH AP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ikhwan Fahrojih, menanggapi kasus dugaan suap sebesar Rp 60 miliar terhadap hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) yang kembali menyeret pengacara dan panitera pengadilan.
Menurut dia, persoalan ini menunjukkan bahwa sistem peradilan tengah berada dalam kondisi darurat moral."Menurut pendapat saya maraknya suap-menyuap karena rendahnya moralitas penegak hukum, baik advokat maupun hakim," ujar Ikhwan saat dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (23/4/2025).
Karena itu, dia menekankan agar hakim dan peradilan memiliki moralitas dan integritas yang lebih tinggi dari penegak hukum lain. Dia menjelaskan, hakim adalah muara dan harapan terakhir.
Menanggapi soal hubungan antara pengacara dan hakim, Ikhwan mengungkapkan, masing-masing profesi sejatinya telah memiliki kode etik yang tegas. Menurut dia, hakim dilarang menerima suap atau gratifikasi sesuai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim berdasarkan keputusan bersama KY dan MA.
Sementara itu, advokat sebagai officium nobile juga dilarang memberi suap berdasarkan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan."Di profesi advokat ada kode etik advokat, dimana advokat sebagai officium nobile (profesi mulia) tidak boleh memberi suap," ucap Ikhwan.
Ikhwan menolak anggapan bahwa memberi iming-iming kepada aparat penegak hukum adalah cara kerja lazim dalam dunia advokat. Jika hal itu terjadi, maka itu adalah masalah integritas personal yang mencoreng profesi. "Pengacara tidak dibenarkan berdasarkan kode etik advokat dan perundang-undangan untuk memberikan suap/gratifikasi," kata Ikhwan.
Untuk menghentikan praktik mafia peradilan, Ikhwan menilai perlu diakukan evaluasi total terhadap sistem peradilan. Ia menekankan pentingnya membangun sistem yang mampu melahirkan hakim yang kompeten dan berintegritas, dimulai dari proses rekrutmen.
"Rekruitmen perlu dipertimbangkan untuk merekrut calon-calon hakim yang telah berpengalaman di dunia hukum misal selama 10 atau 15 tahun, bukan fresh graduate," ujar Ikhwan.