
Oleh : Fahmi Salim, Direktur Al-Fahmu Institute
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Prabowo Subianto, atas nama negara, baru saja menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional 2025 kepada sepuluh tokoh bangsa.
Di antara mereka, tiga nama langsung memantik kontroversi: HM. Soeharto (Presiden RI ke-2), KH. Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4), dan Marsinah (aktifis buruh). Ketiganya berasal dari latar sejarah dan ideologi yang nyaris bertolak belakang, dan karena itu, keputusan ini tampak lebih dari sekadar penghargaan. Ia adalah pernyataan politik, bahkan bisa jadi upaya membentuk narasi baru tentang kepahlawanan Indonesia.
Soeharto: Antara Jasa dan Luka Sejarah
Soeharto, Presiden ke-2 RI yang dianugerahi pahlawan nasional bidang perjuangan, bagi sebagian orang tetaplah “Bapak Pembangunan”: penggerak stabilitas, pembangunan ekonomi, dan modernisasi. Namun bagi banyak lainnya, ia juga simbol otoritarianisme dan pelanggaran HAM.
Sejarah mencatat rangkaian tragedi di bawah rezim Orde Baru: Pembantaian 1965–1968, yang menewaskan ratusan ribu orang, termasuk anggota PKI dan simpatisannya di sejumlah daerah; Tragedi Losarang (Indramayu, 1971) dan Brebes (1977), ketika aparat menembaki warga dan santri yang dituduh anti-pemerintah; Tragedi Tanjung Priok (1984) dan Talang Sari (Lampung, 1989), dua kasus pelanggaran HAM berat di mana aparat menembak dan membakar warga sipil dengan dalih menumpas ekstremisme.
Deretan peristiwa itu menjadi noda sejarah yang tak kunjung tuntas diadili. Maka, ketika Soeharto kini diberi gelar Pahlawan Nasional, luka-luka sejarah itu kembali menganga.
Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), seperti KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), menolak keras langkah ini, mengingat banyak kiai dan santri NU jadi korban represif rejim Orde Baru.
Gus Mus, misalnya, menyebut bahwa Soeharto harusnya dikenang juga karena “tindakan represif terhadap ulama NU yang dibuang ke sumur” pada masa pergolakan politik itu. Namun kalau mau jujur, Soeharto di awal konsolidasi kekuasaannya tidak hanya memberangus NU, tapi juga elemen Islam yang lain seperti Masjumi dan Muhammadiyah.
Parmusi yang awalnya dinakhodai tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun tidak lama lalu diobok-obok oleh Jaelani Naro dan Imam Kadir yang loyalis Orde Baru. M. Natsir tokoh sentral Masjumi dan pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dibatasi gerakannya karena terlibat dalam Petisi 50 yang terkenal itu. Puluhan kyai dan mubaligh Muhammadiyah sempat mendekam di penjara karena korban fitnah Komando Jihad (KOMJI) tahun 1977.
Bagi pemerintah, alasan pemberian gelar mungkin lebih berfokus pada jasa Soeharto sejak masa pra kemerdekaan sebagai wakil komandan BKR Yogyakarta yang memimpin peluncutan senjata Jepang tahun 1945 dan revolusi fisik, terutama peran dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 serta perannya membangun sistem pertahanan nasional pasca-kemerdekaan. Sejarah resmi tampaknya lebih menonjolkan sisi “jasa” daripada “dosa”.
Gus Dur: Antara Pengakuan dan Penyeimbang Politik
Di sisi lain, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional (bidang perjuangan politik dan pendidikan Islam) kepada KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga memunculkan tafsir politis. Gus Dur adalah presiden yang menandai babak baru reformasi, tokoh pluralisme, dan pembela hak asasi manusia.
Ia dikenal menolak diskriminasi etnis Tionghoa, membela kelompok minoritas (non-muslim, Ahmadiyah, Syi’ah, dll), dan membuka kembali ruang kebebasan setelah 32 tahun Orde Baru membungkam rakyat.
Namun Gus Dur juga sarat kontroversi. Ia sempat mengusulkan pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang pelarangan PKI dan ajaran komunisme, serta bersikap terbuka terhadap normalisasi hubungan Indonesia–Israel. Kedekatannya dengan tokoh Zionis Shimon Peres menimbulkan pertanyaan, karena Indonesia berlandaskan prinsip anti-penjajahan sebagaimana amanat konstitusi.

2 hours ago
2










































