REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyatakan bahwa data garis kemiskinan (GK) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) lebih mencerminkan kondisi kemiskinan nasional Indonesia. Ini merespons perbedaan angka dengan tingkat kemiskinan yang dirilis Bank Dunia.
Data terbaru Bank Dunia menunjukkan bahwa 68,3 persen penduduk Indonesia berada di bawah standar kemiskinan negara berpendapatan menengah atas pada 2024. Sementara itu, menurut data BPS, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 tercatat sebesar 8,57 persen.
“Meski angka Bank Dunia berharga untuk analisis global, Pemerintah Indonesia menyatakan tingkat kemiskinan nasional resmi yang diukur oleh BPS tetap menjadi referensi yang paling relevan untuk penyusunan kebijakan nasional,” kata Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Dedek Prayudi, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (16/6/2025).
Dedek menuturkan, tingkat kemiskinan oleh BPS diperoleh dari pendekatan yang memperhitungkan pola konsumsi lokal, variasi harga regional, dan realitas sosial-ekonomi. Aspek-aspek tersebut dinilai lebih merefleksikan kondisi perekonomian nasional dan mewakili kebutuhan spesifik masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia akan tetap menggunakan garis kemiskinan oleh BPS sebagai rujukan dalam penyusunan kebijakan.
“Seperti yang telah disampaikan BPS, perbedaan garis kemiskinan nasional dan internasional berasal dari perbedaan tujuan keduanya. Garis kemiskinan internasional berperan sebagai tolok ukur global, sedangkan garis kemiskinan nasional menyesuaikan dengan relevansi kebijakan domestik,” ujar Dedek.
Pemerintah pun menegaskan fokusnya pada upaya pengentasan kemiskinan. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digeser untuk memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia (SDM), sementara anggaran infrastruktur dilanjutkan dengan melibatkan pihak swasta. Menurut Dedek, langkah ini diambil demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Secara khusus, Dedek menyoroti upaya spesifik pemerintah dalam mengatasi kemiskinan, yaitu dengan berinvestasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan nutrisi, terutama melalui program prioritas Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Pendekatan ini menggarisbawahi keyakinan Presiden Prabowo bahwa pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan harus dimulai dari pembangunan modal manusia, bukan hanya dukungan jangka pendek,” katanya.
Dedek juga mengutip pernyataan Kepala PCO, Hasan Nasbi, yang menyebut bahwa pemerintah mengadopsi Indeks Deprivasi Multidimensi (MDI) sebagai acuan dalam kebijakan pengentasan kemiskinan. Indeks ini dikembangkan oleh Kementerian Keuangan, UNICEF, dan Universitas Indonesia (UI).
Di sisi lain, Kementerian Keuangan melalui Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2026 juga menekankan bahwa kemiskinan bukan hanya persoalan pendapatan, tetapi juga mencakup akses terhadap air bersih, gizi, pendidikan, dan kondisi hidup yang layak.
“Yang penting bukan angkanya, tetapi memastikan bahwa setiap orang, termasuk anak-anak, memiliki alat untuk berkembang,” ujar Dedek.
Sebelumnya, Bank Dunia pun menyatakan bahwa garis kemiskinan yang dirilis oleh BPS lebih relevan untuk mengukur tingkat kemiskinan nasional Indonesia maupun menjadi acuan pengambilan kebijakan suatu negara.
Sementara itu, data kemiskinan yang dirilis Bank Dunia merupakan pengukuran internasional yang bertujuan menjadi tolok ukur dalam memantau kondisi kemiskinan global serta membandingkan antarnegara. Perbedaan tersebut bersifat intensional karena Bank Dunia sengaja menggunakan pendekatan berbeda dari pemerintah tiap negara, sesuai dengan tujuan masing-masing pengukuran.
sumber : ANTARA