Anqiyaa Ahnaf
Kisah | 2025-05-07 20:11:40
Kisah kali ini bukan tentangku, tapi tentang sesosok teman dengan hati yang begitu kuat.
Nama lengkapnya sungguh panjang, mungkin nama terpanjang di angkatanku, tapi aku memanggilnya Caca. Simpel dan manis. Caca adalah sulung dari empat bersaudara, datang dari sebuah daerah di ranah Sunda untuk menuntut ilmu bersamaku di balik pagar kampus. Caca adalah sesosok yang aku tahu diuji sungguh banyak ujian.
Ujian masing-masing orang berbeda. Bisa dibilang, ia diuji dengan amanah. Berapa banyak yang ia emban. Wakil ketua angkatan, wakil ketua salah satu sekbid BEM, ketua kamar, ketua kelas, dan lain-lain. Amanah terbesarnya adalah menjadi seorang ketua BEM. Sebuah tanggung jawab yang tidak semua orang bisa memikulnya.
Makin naik semesternya, makin naik pula tingkat ujiannya. Sampai suatu hari di semester tujuh, terbetik kabar bahwa ibunda Caca meninggal dunia. Ibunya, yang selama ini memperjuangkan kehidupan berjalan dengan penyakitnya, di waktu yang sama tetap menjadi support system yang sungguh berarti untuk Caca, akhirnya beristirahat dari kelelahan dunia.
Berita itu disampaikan pasca salat subuh, diumumkan di masjid kampus yang besar. Semalam, empunya berita sudah pulang, bertolak ke rumahnya untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ibunya tercinta. Dua pekan kemudian, ia kembali, dengan senyum yang masih sama.
Semester tujuh itu tidak selesai begitu saja dengan ujian itu. Semester yang merupakan awal penulisan skripsi itu ternyata masih memberikan ujiannya kepada Caca. Judul skripsi yang ia ajukan ditolak oleh pihak kampus. Ia berada dalam keadaan digantung selama dua pekan, sedangkan teman-temannya sudah melaju ke pembimbing masing-masing.
Kampusku adalah kampus swasta yang penuh dengan regulasi dan peraturan. Salah satu peraturan adalah bahwa mahasiswa semester akhir akan mengumpulkan judulnya di waktu yang sama, mendapatkan pembagian pembimbing di waktu yang sama, mengumpulkan skripsi di waktu yang sama, sidang di waktu yang sama, dan wisuda di waktu yang sama. Kami harus memulai bersama, dan selesai bersama.
Ketika akhirnya Caca mendapatkan pembimbing, penulisan skripsinya tidak sama seperti yang lain. Pembimbingnya menyuruhnya menulis BAB 4 sebelum menulis BAB 2. Begitu pula dengan intensitas pertemuan yang rendah, kebanyakan bimbingan dilakukan via chat.
Beberapa purnama berlalu, dan akhirnya deadline pengumpulan skripsi pun tiba. Kami diwanti-wanti sejak lama agar tidak ada yang terlambat mengumpulkan skripsi. Pada pekan itu, semua harus mengumpulkan skripsinya masing-masing.
Aku masih ingat dengan baik. Hari itu hari Ahad, dan waktu terakhir pengumpulan skripsi adalah hari Rabu. Aku pergi ke kelas Caca untuk sebuah urusan, tiba-tiba ia memanggilku dan berkata -dengan senyum yang tidak berubah-,
“Tau nggak? Pembimbing aku nyuruh aku ganti judul skripsi aku, lho.”
Mataku membesar, terpengarah. Ganti judul? Sekarang? Dengan sisa hari yang bisa dihitung jari?
“Ganti judul gimana?!” Seruku.
“Disuruh bikin lebih spesifik.”
“Kenapa ngga dari dulu aja?”
Caca menggeleng, tidak tahu harus menjawab apa.
Judul baru dengan spesifikasi yang diminta pembimbingnya dekat dengan judul skripsiku. Mulai dari penelitian terdahulu hingga metodologi penelitian, hampir seratus persen sama. Aku berusaha membantunya mencarikan referensi di waktu yang sempit itu. Malam-malam itu, Caca selalu bergadang untuk mengerjakan skripsi. Tapi aku tidak khawatir, aku tahu dia bisa menghadapinya dengan hati yang tenang.
Mungkin karena kasihan, pembimbing Caca meminta keringanan dari kampus untuk Caca yang judulnya diubah tiga hari sebelum deadline. Caca akhirnya mengumpulkan skripsinya sepekan setelah deadline. Kini ia sama seperti kawan-kawannya, menunggu dengan panas-dingin soal sidang skripsi.
Menunggu selama tiga hari, akhirnya pengumuman itu keluar juga di grup angkatan. Kolom-kolom kecil berisikan nama kami, judul, nama penguji, serta ruang sidang dan waktunya. Masing-masing fokus mencari namanya, tapi namaku tertumbuk di nama Caca. Namanya yang panjang itu hanya diikuti judul skripsinya yang juga panjang. Kolom waktu sidangnya masih kosong, berarti Caca masih belum tahu kapan ia akan melaksanakan sidang.
Aku menghela nafas, satu ujian lagi untuk Caca.
“Iya kan, ga ada habisnya.” Celetuknya ketika aku menemuinya.
“Gapapa, Ca. In syaa Allah itu ngasih kamu waktu lebih lama untuk persiapan.” Kataku berusaha membesarkan hatinya.
Caca, sosok dengan hati terkuat yang aku kenal. Berbagai ujian menderanya, tapi senyumnya tetap tidak berubah. Masih dengan langkah yang ringan pergi ke masjid untuk salat, masih dengan tempat minumnya yang besar pergi ke ruang makan untuk menunaikan hak perutnya, masih dengan senyum yang sama ia menghadapi kehidupan.
Kisah ini untuk Caca, dan untuk siapa pun di luar sana, mungkin kehidupanmu lebih keras dari kehidupan Caca, tapi percayalah, kamu bisa menghadapinya.
sumber: Unsplash
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.