Penghapusan Kelas BPJS Kesehatan Jadi KRIS Tunggal Dikecam Serikat Pekerja

5 hours ago 2
Republika/PrayogiIlustrasi layanan BPJS Kesehatan Sumber:Republika/Prayogi

JAKARTA – Rencana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) satu ruang perawatan yang digagas Kementerian Kesehatan (Kemenkes), menuai protes keras dari masyarakat, khususnya dari kalangan serikat pekerja. Koordinator Forum Jamsos Lintas Federasi, Jusuf Rizal menuturkan bahwa KRIS satu ruang perawatan ini diduga merupakan hidden agenda Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin untuk memuluskan jalan pengusaha asuransi swasta.

“Ada 12 organisasi serikat pekerja yang diundang oleh Kemenkes dalam lobi-lobi berbalut acara makan siang dan penyamaan persepsi soal KRIS. Kami tegaskan bahwa kami tetap menolak konsep KRIS satu ruang perawatan ini karena berpotensi merugikan pekerja, buruh, dan masyarakat,” kata Jusuf.

Sebelumnya, pihaknya juga telah menyampaikan pokok-pokok pikiran penolakan konsep KRIS satu ruang perawatan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Hadir pada saat itu, Ketua DJSN Nunung Nuryantono beserta anggota DJSN lainnya, serta perwakilan Kemenkes dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Menurut Jusuf, pada tahun 2024 dalam diskusi dengan BPJS Kesehatan tentang KRIS, saat Perpres 59 Tahun 2024 terbit, ia bersama Timboel Siregar (Pemerhati Jaminan Sosial) telah menyampaikan keberatan dan penolakan terhadap konsep KRIS (satu kamar untuk 4 tempat tidur). Bahkan, pihaknya mendesak agar konsep KRIS satu ruang perawatan dibatalkan saja jika ujung-ujungnya membawa lebih banyak kerugian bagi masyarakat.

“Lebih baik revisi Perpres 59 Tahun 2024, karena di situ tidak ada sama sekali kebijakan yang mensyaratkan KRIS harus berbentuk satu ruang kelas perawatan. Kalau tidak, ya batalkan saja kebijakan KRIS karena ini menerabas prinsip keadilan dan semangat gotong royong. Kebijakan ini juga berpotensi membebani keuangan pekerja dan buruh yang sudah terjepit dengan iuran-iuran lain. Bukan cuma dari kami yang menolak, pihak rumah sakit juga banyak yang keberatan karena belum siap,” tandasnya.

Dalam kesempatan terpisah, . Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar mengungkapkan bahwa masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan aturan soal KRIS satu ruang perawatan. Menurut Timboel, banyak rumah sakit maupun tenaga kesehatan yang tidak siap dengan KRIS satu ruang perawatan. Ia juga menyoroti bahwa tidak ada regulasi yang menyatakan KRIS harus satu ruang perawatan.

“Dari proses awalnya saja sudah tidak jelas karena tidak ada acuan regulasinya. Kalau KRIS satu ruang perawatan diterapkan, jumlah tempat tidur bagi pasien JKN akan makin sedikit. Sekarang saja sudah sulit cari tempat tidur, bagaimana kalau nanti KRIS satu ruang perawatan diterapkan? Mestinya KRIS jangan satu ruang perawatan, tapi harus ada alternatif kelas lain,” tegas Timboel.

Kritik pedas juga datang dari Tulus Abadi, yang merupakan pengamat perlindungan konsumen dan kebijakan publik, sekaligus penggagas Forum Konsumen Indonesia (FKI). Menurut Tulus, penerapan KRIS satu kelas rawat bisa jadi ditunggangi asuransi kesehatan swasta. Jika KRIS diterapkan, asuransi kesehatan swasta akan untung banyak dengan menjaring potensi pasar dari peserta JKN kelas 1 dan 2 yang tidak mau dirawat inap dalah satu ruang kelas perawatan. Sementara jika dilihat dari kacamata peserta JKN, penerapan KRIS merugikan peserta JKN, khususnya kelas 3, sebab akan dipaksa membayar iuran lebih besar.

“Seharusnya, setiap kebijakan yang digulirkan mengacu pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi publik. Lalu kebijakan KRIS ini mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan siapa? Pemerintah harus satu kata dalam menerapkan KRIS dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dan seluruh segmen peserta JKN. Menunda implementasi KRIS dengan konsep satu kelas per Juli 2025 adalah opsi yang paling adil dan rasional, sampai ada titik temu mengenai konsep KRIS yang disepakati oleh seluruh pihak,” ungkap Tulus.

Read Entire Article
Politics | | | |