Pesantren Dihujat

10 hours ago 4

Oleh : Dr Salahuddin El Ayyubi, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Syariah IPB University

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia pesantren mendadak viral, mulai dari konten media yang kontroversial hingga tragedi kecelakaan bangunan pondok yang memilukan menjadikan lembaga pendidikan tertua di Nusantara ini menjadi sorotan publik. Hal ini menjadi semakin menarik, karena ternyata selama ini ada jurang pemahaman yang dalam antara dunia pesantren dan masyarakat luas yang mengamatinya dari luar.    

Tentu saja, pesantren tidak bisa dianggap sebagai lembaga suci yang bersih dari kekurangan sehingga tidak perlu menutup diri terhadap ‘islah’ atau reformasi internal yang muncul. Sayangnya, sebagian besar kritik yang datang dari eksternal pesantren tidak lahir dari niat konstruktif akan tetapi bernuansa destruktif yang disebabkan oleh kesenjangan kultural dan epistemologis yang fundamental.  

Lensa Trans7 dan Logika “Amplop” 

Puncak dari benturan cara pandang ini adalah ketika Trans7 dalam salah satu programnya menayangkan visual seorang santri yang mendekati kiai dengan gestur “ngesot” sambil menyerahkan amplop yang dibingkai dengan narasi insinuatif, “...bisa jadi inilah kenapa sebagian kiai makin kaya raya”. Tayangan ini sontak memicu reaksi keras dari komunitas pesantren, yang berujung pada tagar #BoikotTrans7 dan tuntutan permintaan maaf resmi.    

Apa yang dipertontonkan media dalam kasus ini adalah proses dekontekstualisasi yang fatal. Dalam tradisi pesantren, kunjungan kepada kiai (sowan) dan pemberian “amplop” bukanlah transaksi jual-beli ilmu atau jasa spiritual tetapi menjadi simbol ‘takrim’ atau penghormatan dan ekspresi terima kasih. Dana yang terkumpul dari para-alumni atau wali santri ini seringkali tidak masuk ke kantong pribadi kiai, melainkan didaur ulang untuk menopang kebutuhan operasional pesantren seperti kas umum, dapur santri, atau biaya listrik yang berfungsi sebagai subsidi komunal dan bukan untuk memperkaya diri.  

Media dan sebagian publik yang dikendalikan logika kapitalisme melihat fenomena ini sebagai sebuah transaksi ekonomi. Padahal di sisi lain, komunitas santri atau pesantren melihatnya sebagai jalinan hubungan spiritual. Sehingga media bukan hanya lalai pada teknis keberimbangan (cover both sides), tetapi lebih prinsip lagi adalah kegagalan melakukan penerjemahan budaya yaitu saat memaksakan sistem ekonomi-transaksional terhadap praktik yang berakar pada sistem nilai spiritual-komunal.    

Membedakan Adab dan Perbudakan 

Pemandangan santri yang melakukan khidmat yaitu melayani kebutuhan kiai dan keluarganya atau bekerja untuk kepentingan pesantren tanpa upah formal menjadi sebuah pemicu yang meledakkan narasi hubungan kiai-santri bersifat “feodal” dan para santri telah dieksploitasi oleh kiai. Sebaliknya, dunia internal pesantren memahaminya sebagai bagian integral dari pendidikan yang berlandaskan adab (etika luhur) dan pencarian barakah (keberkahan ilmu).    

Kitab-kitab klasik seperti Ta'lim Muta'allim memang mengajarkan bentuk penghormatan yang luar biasa kepada guru, bahkan hingga pada ungkapan hiperbolis, “Saya adalah hamba sahaya dari orang yang telah mengajariku satu huruf”. Menyamakan ini dengan ‘feodalisme’ adalah sebuah kekeliruan yang mendasar. Feodalisme adalah sistem sosio-politik yang didasarkan pada kepemilikan tanah dan relasi kuasa yang koersif. Sementara patronase spiritual di pesantren didasarkan pada otoritas ilmu ('ilmu) dan ketundukan sukarela (tawadhu') dari murid. Khidmat yang dilakukan santri bukanlah kerja paksa, melainkan sebuah metode pedagogi untuk menempa karakter, melatih kerendahan hati, dan memperkuat ikatan batin (rabithah) dengan guru yang diyakini akan membuat ilmu yang diperoleh lebih meresap dan bermanfaat. Orang lain mungkin melihatnya sebagai bentuk lahiriah (pelayanan, ketundukan) dan melabelinya sebagai “perbudakan” tanpa memahami logika batiniah dan tujuan spiritualnya yaitu penaklukan ego dan pembebasan jiwa.  

Ketaatan yang Tidak Buta dalam Syariah 

Sebuah kaidah syariah yang tidak bisa ditawar “La tha'ata li makhluqin fi ma'shiyatil khaliq” yang artinya “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta”. Prinsip ini adalah pemutus sirkuit ilahiah dalam relasi kiai-santri bahwa loyalitas seorang santri kepada kiai bersifat kondisional. Jika seorang kiai memerintahkan sesuatu yang jelas-jelas merupakan dosa, kezaliman, atau bertentangan dengan syariat, maka santri tidak hanya boleh, tetapi wajib untuk menolak dan tidak mematuhinya.     

Dalam ilmu Ushul Fiqh, 'urf atau adat istiadat yang berlaku di suatu masyarakat dapat diakui sebagai salah satu sumber hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan dalil qath'i dari Al-Qur'an dan Sunnah. Tradisi kerja bakti komunal (ro'an) atau khidmat santri di kediaman kiai dapat dianggap sebagai adat ('urf 'amali) yang telah melembaga dan menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya pedagogi pesantren. Selama praktik ini bertujuan untuk mendidik kedisiplinan, kerendahan hati, dan tanggung jawab komunal, apalagi dilakukan atas dasar kerelaan untuk mencari barakah, maka dari perspektif fiqh ini dianggap sebagai adat yang sah ('urf shahih) dan sangat berbeda dengan pandangan “kerja tanpa upah” sebagaimana yang dituduhkan.  

Menuju Kritik yang Membangun, Bukan Meruntuhkan 

Pesantren bergerak dalam sebuah logika sosio-spiritual unik yang seringkali tak kasat mata bagi pandangan sekuler-modern. Memahami konsep dan prinsip kunci seperti etika (adab), keberkahan (barakah), dan adat kebiasaan ('urf) adalah prasyarat untuk bisa menilai ekosistem santri, kiai dan pesantren dengan adil dan bijaksana. Tanpa dasar pemahaman yang kuat seperti ini, maka kritik yang muncul hanya akan menjadi cerminan dari keawaman kultural, dekontekstualisasi bahkan sampai kepada prasangka yang sebenarnya dilarang dalam agama tanpa ilmu yang memadai.  

Wallahu a’lam bisshowwab

Read Entire Article
Politics | | | |