Probabilitas: Cara Berpikir di Dunia yang tak Pasti

1 day ago 10

Oleh : Hasanuddin Ali, CEO Alvara Research Center

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa hari yang lalu, saat scrolling media sosial, Instagram, saya berhenti sejenak pada unggahan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof Stella Christie. Dalam komentarnya soal Timnas Indonesia, dengan rinci ia menyebut prediksi peluang lolos/tidaknya Timnas Indonesia ke Piala Dunia berbasis probabilitas.

Sekilas terlihat sederhana -hanya satu kata: probabilitas. Tapi bagi saya pribadi, seorang alumni Statistika, kata itu terasa sangat tidak asing.

Kata itu membawa saya kembali ke ruang kuliah. Kalau tidak salah ingat, mata kuliah probabilitas diberikan di semester pertama di Jurusan Statistika ITS dengan beban kuliah 3 SKS. Dalam praktikumnya kami satu kelas, dibagi dalam beberapa kelompok, harus berdiri, kadang duduk, berjam-jam untuk menghitung kendaraan yang lewat jalan Tunjungan, Surabaya. Di lain waktu kami juga harus menghitung berapa kata yang salah ditulis (typo) di koran Jawa Pos.

Di ruang kelas kami mempelajari berbagai deret angka yang panjang, soal distribusi normal, simulasi Monte Carlo, juga debat kecil soal frequentist vs Bayesian, dan tentu yang paling berkesan adalah tentang keyakinan bahwa probabilitas bukan hanya soal angka, tapi soal cara berpikir dalam dunia yang tak pasti.

Probabilitas bukanlah ramalan. Ia adalah disiplin ilmu yang lahir dari pengakuan bahwa hidup penuh ketidakpastian. Filsuf dan matematikawan Prancis seperti Blaise Pascal dan Pierre-Simon Laplace melihat probabilitas sebagai alat untuk memahami dunia yang tak sepenuhnya bisa diprediksi. Dari permainan dadu hingga cuaca, dari pemilu hingga… ya, pertandingan olahraga semacam pertandingan sepak bola Timnas Indonesia.

Kita juga tidak pernah tahu secara pasti siapa yang akan mencetak gol, apakah hujan turun esok hari, atau kapan pasar saham berbalik arah.

Dan yang lebih penting, probabilitas adalah cara berpikir. Ia mengajarkan kita untuk tidak selalu berpikir dalam hitam-putih, menang-kalah, pasti-gagal. Tapi dalam spektrum kemungkinan dan ketidakpastian.

Dalam kasus yang hampir sama, saya teringat pada satu film yang sangat populer, Moneyball (2011), dibintangi Brad Pitt sebagai Billy Beane, manajer tim bisbol Oakland Athletics. Film ini bukan sekadar kisah olahraga, tapi kisah revolusi diam-diam dalam dunia profesional —bagaimana keputusan besar bisa diambil bukan dari intuisi atau pengalaman semata, tapi dari data dan probabilitas.

Billy Beane dan asistennya (diperankan Jonah Hill) membalikkan paradigma. Mereka memilih pemain bukan karena nama besar, tapi karena statistik tersembunyi —nilai-nilai yang sering diabaikan, tapi bila dihitung dengan pemodelan yang tepat, justru punya dampak besar. Mereka percaya bahwa angka bisa membaca potensi lebih baik daripada mata telanjang.

Dan mereka benar. Di dunia yang penuh sentimen dan mitos, mereka menang dengan logika dan kalkulasi.

Kisah Moneyball adalah bukti bahwa probabilitas bukan untuk para profesor di menara gading saja. Ia adalah senjata sunyi di balik keputusan-keputusan besar —baik di ruang manajerial, lapangan bola, maupun dunia teknologi.

Sepak bola pun kini tak luput dari pendekatan probabilistik. Mulai dari expected goals (xG), pemetaan zona serangan, hingga model prediksi hasil pertandingan, semua merupakan aplikasi nyata dari statistika. Bahkan pelatih-pelatih papan atas dunia kini mengandalkan analis data untuk menentukan strategi lawan.

Kini, probabilitas menjadi tulang punggung teknologi paling mutakhir: artificial intelligence. Mesin belajar dari data tidak dengan kepastian mutlak, tapi dengan kemungkinan. Model probabilistik seperti Naive Bayes, Hidden Markov Models, atau bahkan machine learning dan deep learning semuanya adalah penerapan dari pemikiran probabilistik.

AI tidak pernah bilang “pasti benar”. Tapi AI bisa bilang: “Ada kemungkinan 87% ini yang kamu butuhkan.” Dan dunia pun berubah. Dari film yang kita tonton di Netflix, rekomendasi lagu di Spotify, hingga keputusan pembiayaan di bank, semuanya kini, secara diam-diam, ditentukan oleh probabilitas.

Kembali ke unggahan Wamendikti soal Timnas Indonesia, sebagai orang statistik, saya tahu tidak ada jaminan dalam probabilitas. Tapi ia memberi kita peta, arah, dan dasar untuk berharap secara masuk akal. Ia tak menghapus emosi, tapi menyelipkan akal untuk lebih memahami realitas.

Ketika 30 tahun yang lalu saya masuk jurusan Statistika ITS, masih banyak orang yang bertanya Statistika itu ilmu apa? Kerjanya di mana? dan seabrek pertanyaan yang tidak bisa saya jawab kala itu. Tapi kini sudah berubah total, banyak teman-teman seusia saya ingin anaknya kuliah di Prodi Statistika atau Prodi turunannya seperti Data Sains atau Aktuaria. Bahkan informasi yang saya dapatkan di beberapa kampus, Statistika adalah jurusan favorit dangan passing grade di atas rata-rata.

Unggahan Prof Stella tidak disangka membuat ilmu Statistika dan juga Probabilitas mulai keluar dari ruang akademik dan ikut meramaikan obrolan warung kopi, siaran pertandingan, hingga unggahan para pejabat negara. Ilmu ini, yang dulu terasa sunyi dan abstrak, kini perlahan membaur dalam semesta publik. Dan seperti kisah Moneyball, barangkali sudah saatnya kita melihat bahwa logika, angka, dan kalkulasi adalah cara terbaik untuk melihat sebuah persoalan dan juga potensi.

Dalam dunia yang tak pasti, harapan dan probabilitas ternyata bisa berjalan bersama.

Read Entire Article
Politics | | | |