Oleh : Achmad Nur Hidayat – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID,
Apakah mungkin membangun seratus Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) dalam waktu empat bulan dengan anggaran Rp 2,2 triliun?
Pertanyaan ini menjadi dasar perenungan atas ambisi besar pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang menggulirkan program transformasi sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir.
Di tengah janji dan semangat pembangunan era baru, kita dihadapkan pada tantangan klasik kebijakan publik: antara idealisme perencanaan dan realitas implementasi.
KKP mencanangkan akan membangun 1.100 KNMP hingga 2027. Target awal adalah 100 kampung dalam waktu yang sangat sempit—hanya empat bulan pada 2025. Rencana ini diluncurkan dengan antusiasme tinggi, mengusung jargon pemberdayaan nelayan dan pembangunan ruang hidup produktif.
Namun, jika kita melihat lebih dekat, terdapat sejumlah tantangan yang harus disoroti secara kritis, terutama terkait potensi tumpang tindih dengan dana desa, efektivitas kebijakan, daya serap anggaran, dan keberlanjutan program.
Dalam rancangan awal, satu KNMP diproyeksikan menelan biaya rata-rata Rp 22 miliar. Angka ini didasarkan pada proyek serupa yang telah dilaksanakan di Biak Numfor, Papua. Bila asumsi tersebut diterapkan merata ke seluruh wilayah Indonesia, maka dibutuhkan dana Rp 2,2 triliun hanya untuk 100 kampung tahap awal.
Pertanyaannya: apakah angka tersebut realistis untuk mencakup infrastruktur, pemberdayaan, serta penguatan sosial-ekonomi nelayan?
Lebih jauh lagi, apakah anggaran yang besar ini benar-benar berpihak pada yang paling marginal di kawasan pesisir?
Anggaran ini berasal dari Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun 2025, yang sudah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan. Namun, dana ABT pada hakikatnya bersifat non-permanen, tergantung pada efisiensi dan pengalihan anggaran dari sektor lain. KKP sendiri pasca-pemangkasan belanja negara, hanya memiliki pagu efektif sekitar Rp 3,58 triliun. Ini berarti lebih dari 60 persen anggaran efektif kementerian bisa terserap hanya oleh program KNMP.
Situasi ini mengundang kekhawatiran akan potensi tumpang tindih atau bahkan disinsentif terhadap program-program strategis lainnya yang juga menyasar nelayan, seperti pelatihan kewirausahaan, bantuan alat tangkap ramah lingkungan, atau rehabilitasi ekosistem pesisir. Analogi yang paling tepat untuk membaca situasi ini adalah membangun rumah dalam waktu singkat dengan dana terbatas. Rumah bisa jadi berdiri, tapi apakah ia kokoh, layak huni, dan menjawab kebutuhan penghuninya?
Sama halnya dengan KNMP, pembangunan fisik semata tidak cukup. Kampung nelayan bukan sekadar deretan bangunan, tetapi ekosistem sosial yang membutuhkan penyuluhan, pengorganisasian, dukungan kelembagaan, serta akses ke pasar dan modal. Dalam konteks ini, urgensi perencanaan partisipatif menjadi kunci. Pemerintah tidak boleh hanya memusatkan keputusan di Jakarta. Penentuan lokasi, desain kampung, hingga pelibatan masyarakat harus dilakukan dari bawah ke atas. Tanpa itu, KNMP hanya akan menjadi proyek mercusuar, indah dilihat namun rapuh fondasinya.
Apalagi, pembangunan 100 kampung dalam 4 bulan memerlukan koordinasi luar biasa dari pusat hingga daerah. Dalam pengalaman birokrasi kita, hambatan administratif dan teknis kerap menjadi penghambat utama realisasi cepat.
Persoalan tumpang tindih dengan program lain juga perlu mendapatkan sorotan lebih lanjut. Saat ini, berbagai program berbasis desa seperti Dana Desa maupun inisiatif Koperasi Merah Putih juga menyasar kawasan pesisir. Bahkan, tidak sedikit desa yang menjadi calon lokasi KNMP telah menerima Dana Desa sejak hampir satu dekade terakhir. Maka, muncul pertanyaan: bagaimana desain KNMP mampu membedakan diri dari skema Dana Desa dan tidak menjadi duplikasi dari program yang sudah ada?
Bila KNMP hanya memodifikasi alokasi fisik dari Dana Desa, maka wajar jika muncul kecemburuan dari desa-desa non-pesisir yang juga mengalami kemiskinan struktural namun tidak mendapatkan perhatian sebesar ini. Desa-desa pegunungan di Papua, desa terpencil di pedalaman Kalimantan, atau desa kering di NTT memiliki tantangan kesejahteraan yang sama seriusnya. Apakah pembangunan KNMP tidak akan melahirkan ketimpangan baru, justru karena alokasi difokuskan pada wilayah pesisir semata? Program yang baik harus menjawab kesenjangan antarwilayah, bukan memperlebar jaraknya.
Pemerintah harus menjelaskan dengan jernih apa perbedaan peran dan fungsi KNMP dibanding program lainnya. Jika tidak, akan terjadi kebingungan, tumpang tindih dalam pengelolaan, dan potensi konflik antar lembaga. Di sisi lain, keberadaan koperasi nelayan yang digadang sebagai motor penggerak KNMP harus sinkron dengan gerakan Koperasi Merah Putih yang telah berjalan.
Integrasi kelembagaan menjadi mutlak agar intervensi negara tidak hanya reaktif, tetapi juga sinergis dan berjangka panjang. Program ini memang memiliki potensi besar dalam menciptakan lapangan kerja baru. Setiap kampung diperkirakan mampu menciptakan ratusan pekerjaan langsung selama masa konstruksi, serta peluang ekonomi tambahan melalui pengolahan ikan, jasa logistik, dan pariwisata lokal.
Namun sekali lagi, dampak ini tidak akan otomatis muncul hanya karena bangunan berdiri. Dibutuhkan strategi lanjutan untuk memastikan keberlanjutan, dari pelatihan sumber daya manusia hingga penguatan koperasi nelayan. Sebagai negara maritim, Indonesia selama ini mengalami ironi struktural: nelayan sebagai pelaku utama ekonomi kelautan justru menjadi salah satu kelompok termiskin.
KNMP diharapkan menjadi jawaban atas ketimpangan itu. Tapi bila tidak disertai dengan mekanisme redistribusi yang adil dan transparansi anggaran yang kuat, program ini justru berisiko memperdalam ketimpangan. Sudah terlalu banyak program bantuan bagi nelayan yang berakhir pada kelompok elite lokal atau digunakan sebagai alat politik elektoral. Keadilan sosial harus menjadi pilar utama dari setiap rupiah yang dibelanjakan.
Karena itu, KNMP harus punya sistem evaluasi publik yang terbuka. Masyarakat harus tahu, siapa yang mendapatkan kampung ini, berapa dana yang digunakan, dan sejauh mana manfaatnya dirasakan warga. Audit sosial dan pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan adalah keniscayaan dalam memastikan proyek ini tidak menyimpang dari tujuan awalnya.
Program KNMP juga harus disinergikan dengan program-program lain, baik di sektor kelautan maupun lintas kementerian. Integrasi dengan program Kementerian Desa, program ketenagakerjaan untuk pelatihan wirausaha, atau program digitalisasi desa bisa memperkuat daya ungkit dari KNMP.
Tanpa itu, kita akan melihat fragmentasi program, duplikasi anggaran, dan rendahnya efisiensi belanja publik. Melihat kondisi APBN saat ini yang penuh tekanan akibat belanja sosial, pertahanan, dan infrastruktur besar lainnya, program KNMP harus mampu menunjukkan efektivitas anggaran secara konkret.
Apakah dengan Rp 2,2 triliun, kita benar-benar mendapatkan perubahan signifikan dalam kesejahteraan nelayan? Ataukah angka ini hanya akan mengisi laporan dan statistik tanpa menyentuh akar persoalan?
Perlu digarisbawahi pula, bahwa saat ini daya beli masyarakat pesisir masih tertekan akibat harga BBM nelayan, inflasi pangan, dan lemahnya rantai pasok perikanan. KNMP harus memberikan jawaban atas itu, bukan sekadar memberikan infrastruktur, tapi memecahkan bottleneck struktural yang membuat nelayan selalu di bawah tekanan tengkulak, rentenir, dan sistem distribusi yang tidak adil.
Kita membutuhkan kebijakan yang berpihak secara nyata. Yang bukan hanya membangun, tetapi membebaskan. Membebaskan nelayan dari jerat kemiskinan struktural, dari ketergantungan ekonomi, dan dari eksklusi sosial yang selama ini terjadi. KNMP bisa menjadi terobosan besar bila dilakukan dengan semangat keadilan dan transparansi.
Namun bisa juga menjadi proyek gagal jika dikerjakan secara terburu-buru dan tanpa akuntabilitas publik. Di titik inilah peran akademisi, LSM, dan masyarakat sipil sangat penting: menjadi mitra kritis yang tak hanya mengawasi, tetapi juga ikut memastikan bahwa setiap langkah pembangunan kampung nelayan adalah langkah maju menuju Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Kampung Merah Putih harus menjadi simbol keberpihakan pada rakyat kecil, bukan sekadar warna cat tembok yang cepat pudar ditelan waktu.