REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Transisi menuju penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle / EV) hingga 100 persen diperkirakan dapat mencegah sekitar 36 persen kematian dini atau setara dengan 700 ribu jiwa pada 2060. Namun, capaian tersebut dinilai sulit terwujud tanpa penguatan kebijakan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), terutama untuk menjaga pertumbuhan adopsi di tengah keterbatasan daya beli masyarakat.
Direktur Clean Air Asia Ririn Radiawati Kusuma mengungkapkan bahwa dampak Indonesia yang masih mempertahankan dominasi kendaraan berbahan bakar fosil sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat. Tanpa perubahan kebijakan transportasi, pertumbuhan kendaraan bermotor diproyeksikan meningkatkan emisi hingga lebih dari 160 ribu metrik ton dan mendorong konsentrasi partikel halus PM2,5 mencapai 85 mikrogram per meter kubik pada 2060.
Kondisi tersebut berpotensi memicu lonjakan kematian dini akibat paparan polusi udara hingga 1,8 juta jiwa per tahun, disertai peningkatan kasus penyakit pernapasan. Dampak lanjutan dari kematian dini itu juga berimbas pada hilangnya sumber penghasilan utama banyak keluarga.
Berdasarkan riset Clean Air Asia, transisi ke kendaraan listrik dapat memangkas emisi dan konsentrasi PM2,5 secara signifikan. Studi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat adopsi EV, semakin besar jumlah kematian dini akibat polusi udara yang dapat dicegah.
“Dengan adopsi EV yang ambisius dan agresif hingga 100 persen, diperkirakan 36 persen kematian dini dapat dicegah, setara dengan 700 ribu jiwa, pada 2060,” kata Ririn dalam diskusi Momentum Kendaraan Rendah Emisi di Indonesia: Seberapa Siap Regulasi Mengawasi, Kamis (18/12/2025).
Ririn menambahkan, proyeksi tersebut masih mengasumsikan sumber listrik EV berasal dari pembangkit berbasis batu bara. Jika transisi kendaraan listrik berjalan beriringan dengan peralihan ke energi bersih, maka manfaat kesehatan dan lingkungan yang dihasilkan akan jauh lebih besar. Meski demikian, tren adopsi EV saat ini dinilai belum cukup signifikan untuk mengubah struktur transportasi nasional.
Dari sisi ekonomi, Head Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menilai daya beli menjadi salah satu penghambat utama penetrasi kendaraan listrik. Ia menjelaskan bahwa struktur pasar otomotif nasional masih terkunci pada segmen harga rendah.
“Mayoritas rumah tangga di Indonesia hanya mampu membeli mobil di bawah Rp 200 juta, yang saat ini masih didominasi kendaraan berbahan bakar fosil,” kata Andry.
Menurut dia, jika pemerintah ingin mempercepat transisi ke kendaraan listrik, dukungan finansial kepada masyarakat perlu diperkuat, salah satunya melalui keberlanjutan insentif kendaraan listrik.
Andry mengusulkan cukai emisi sebagai salah satu sumber pembiayaan insentif tersebut. Pengenaan cukai emisi dinilai dapat menaikkan harga relatif kendaraan beremisi tinggi, mempersempit kesenjangan harga dengan kendaraan listrik, sekaligus membiayai insentif tanpa menambah beban fiskal.

11 hours ago
6














































