REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nilai tukar mata uang rupiah mengalami penguatan tipis pada perdagangan awal pekan ini. Penguatan rupiah di antaranya karena meredanya risiko pengenaan tarif dagang oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Meski menguat, volatilitas rupiah masih diprediksi terus berlangsung, seiring dengan kondisi dinamika tensi perang dagang AS-Cina. Mengutip Bloomberg, rupiah menguat 9 poin atau 0,05 persen menuju Rp 16.786,5 per dolar AS pada penutupan perdagangan Senin (14/4/2025). Pada perdagangan sebelumnya, atau akhir pekan lalu, rupiah berada di level Rp 16.795 per dolar AS.
“Selera risiko membaik setelah Gedung Putih selama akhir pekan mengonfirmasi bahwa barang elektronik tidak akan dimasukkan dalam tarif 145 persen yang mengejutkan dari Presiden Donald Trump terhadap Cina. Langkah tersebut menawarkan sedikit kelegaan bagi perusahaan-perusahaan besar AS dengan eksposur impor yang besar ke China,” kata Pengamat Mata Uang Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, Senin (14/4/2025).
Kendati demikian, Ibrahim mengatakan, Trump meremehkan gagasan tersebut, dengan menyatakan bahwa impor elektronik masih akan menghadapi pungutan sebesar 20 persen. Trump juga sedang bersiap untuk segera mengumumkan tarif impor terpisah untuk barang elektronik.
“Komentar Trump membuat investor waspada terhadap tarif lebih lanjut, terutama karena Cina dan AS terlibat dalam perang tarif yang sengit minggu lalu. Beijing mengumumkan tarif balasan 125 persen terhadap AS atas langkah terbaru Trump, dan menunjukkan sedikit niat untuk mundur. Cina juga terlihat menjangkau mitra dagang lain untuk meningkatkan perdagangan bilateral,” jelasnya.
Ibrahim melanjutkan, perang dagang yang mengerikan antara ekonomi terbesar dunia diperkirakan mengguncang rantai pasokan global dan pertumbuhan ekonomi, dengan para pedagang terlihat memperkirakan setidaknya 50 persen kemungkinan resesi AS pada tahun ini.
Selain itu, sentimen lainnya tertuju pada pasar yang fokus terhadap data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal pertama Cina yang akan dirilis akhir pekan ini. Juga pembacaan ekonomi utama dari beberapa negara Asia lainnya.
Sementara itu, sentimen dari dalam negeri juga mewarnai pergerakan kurs rupiah. Ibrahim mengatakan, Indonesia juga harus bersiap menghadapi dinamika global akibat ketegangan perdagangan antara AS dan China dengan memperkuat fondasi ekonomi dalam negeri, bukan hanya melalui diplomasi.
Dia mengatakan, Cina yang kini menghadapi tekanan tarif dari AS, akan cenderung memperkuat hubungannya dengan kawasan ASEAN. Dalam konteks itu, Indonesia memiliki peluang strategis untuk menjadi mitra dialog yang kuat, namun tetap harus berhati-hati terhadap potensi dampak negatif seperti banjir impor akibat trade diversion.
“Salah satu skenario yang harus diwaspadai adalah masuknya barang-barang ekspor Cina ke pasar Indonesia sebagai dampak dari pembatasan pasar AS. Tentunya hal tersebut bisa terjadi jika sistem pengawasan perdagangan Indonesia belum siap atau longgar, sehingga mengancam industri dalam negeri,” jelasnya.