
Oleh : Setiawan Budi Utomo, Pemerhati Keuangan Syariah dan Kebijakan Publik
REPUBLIKA.CO.ID, Setiap tahun, jutaan umat Islam Indonesia menunaikan ibadah haji dan umrah, dua ritual suci yang sekaligus menggerakkan denyut ekonomi lintas negara. Dari transportasi, akomodasi, hingga pembiayaan, kegiatan ibadah ini memicu arus dana miliaran dolar dan membuka lapangan kerja bagi ratusan ribu orang. Namun, ironisnya, sebagian besar nilai tambah dari rantai ekonomi ibadah tersebut masih terakumulasi di luar negeri.
Di sinilah pentingnya membangun Hajumnomic konsep ekonomi berbasis ibadah haji dan umrah, melalui sinergi Bank Syariah, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dan Kementerian Haji dan Umrah yang baru berdiri. Tujuannya jelas: menjadikan ibadah bukan hanya jalan menuju keberkahan spiritual, tetapi juga sumber kesejahteraan bangsa.
Momentum penyelenggaraan haji 2025 menegaskan kebangkitan ekonomi ibadah. Pemerintah menetapkan kuota haji reguler 221.000 jamaah, dengan tambahan kuota khusus dan keberangkatan umrah yang menembus 1,5 juta jamaah sepanjang 2024. Nilai ekonomi dari seluruh kegiatan ini mencapai lebih dari Rp125 triliun per tahun, meliputi pembelian tiket, logistik, katering, valuta asing, hingga jasa keuangan lintas negara.
Jika haji identik dengan keterbatasan kuota, umrah justru membuka ruang ekonomi yang jauh lebih luas. Data Kementerian Agama mencatat bahwa pada 2024 jumlah jamaah umrah Indonesia mencapai lebih dari 1,3 juta orang, dan tren ini terus meningkat pasca-pandemi. Dengan rerata belanja paket umrah sebesar Rp35–40 juta per jamaah, nilainya setara Rp45–52 triliun dalam satu tahun. Angka ini hampir enam kali lipat dari perputaran ekonomi haji reguler. Jika dikelola secara terintegrasi dalam satu ekosistem, potensi ekonomi haji dan umrah ini bisa menjadi growth engine baru bagi sektor halal nasional dan menumbuhkan jutaan pelaku usaha di sekitarnya.
Sebagai pelopor industri, Bank Muamalat Indonesia (BMI) berperan strategis. Sejak 1992, Muamalat menjadi pionir dalam pengelolaan tabungan haji dan kini menempati posisi kunci di antara 17 bank penerima setoran BPIH. Per akhir 2024, Muamalat mencatat lebih dari 1,3 juta rekening tabungan haji dengan total dana kelolaan sekitar Rp12 triliun. Melalui integrasi digital dengan SISKOHAT, pembukaan tabungan haji kini bisa dilakukan sepenuhnya secara daring. Di sisi lain, Muamalat menyalurkan pembiayaan bagi penyelenggara perjalanan ibadah umrah dan haji (PPIU/PIHK) melalui skema supply chain financing berbasis akad murabahah dan ijarah, yang memperkuat rantai pasok jasa haji dan umrah secara halal dan efisien.
Kemajuan paling signifikan adalah munculnya inovasi produk intermediasi yang lebih canggih SRIA (Shariah Restricted Investment Account) dengan akad mudharabah. Melalui skema ini, bank syariah dapat menyalurkan dana investor atau nasabah ke proyek-proyek tertentu yang memiliki nilai sosial-ekonomi strategis namun tetap sesuai syariah. Salah satu model implementatifnya adalah rencana pengembangan “Kampung Haji” di Tanah Suci sebagai zona ekonomi dan pelayanan jamaah yang terintegrasi dengan akomodasi, logistik, kuliner halal, dan layanan keuangan digital. Dengan SRIA, dana umat dapat diinvestasikan langsung dalam pembangunan infrastruktur seperti asrama transit jamaah, hotel syariah, pusat logistik dan katering, serta sistem transportasi jamaah di Makkah dan Madinah. Produk seperti ini dapat menjembatani antara investasi dan ibadah, antara spiritualitas dan produktivitas.
Sebagai lembaga pengelola dana haji, BPKH kini mengelola lebih dari Rp168 triliun dana umat (Agustus 2025), dengan lebih dari 60% diinvestasikan pada instrumen syariah. Strateginya mengedepankan prinsip aman, efisien, dan produktif, dengan diversifikasi penempatan pada sukuk, deposito syariah, dan proyek sosial-keagamaan. BPKH juga telah memperluas kerja sama strategis dengan bank-bank syariah, termasuk Muamalat, untuk memaksimalkan nilai manfaat bagi jamaah.
Sinergi ini tidak berhenti pada penempatan dana semata. Melalui kemitraan dengan Bank Syariah, BPKH dapat mengakselerasi impact investment yakni investasi yang memberi keuntungan finansial sekaligus manfaat sosial. SRIA menjadi jembatan strategis untuk menyalurkan dana ke proyek “Kampung Haji”, kawasan logistik halal, atau pengembangan fasilitas kesehatan jamaah. Artinya, nilai manfaat dari dana haji tidak lagi pasif, tetapi aktif menumbuhkan ekonomi umat sekaligus menjaga keberlanjutan keuangan haji di masa depan.
Kehadiran Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) menjadi katalis transformasi besar. Kementerian ini tidak hanya bertugas menyelenggarakan keberangkatan jamaah, tetapi juga mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, dan spiritual dari penyelenggaraan ibadah. Kemenhaj dapat berfungsi sebagai pengatur dan fasilitator value chain haji umrah nasional, menyinergikan data jamaah, pelaku industri, dan lembaga keuangan syariah dalam satu platform digital. Dengan begitu aliran dana raksasa ini sebagian besar tidak lagi berputar di luar negeri seperti saat ini: tiket maskapai asing, hotel di Arab Saudi, hingga logistik yang tak selalu terkoneksi dengan rantai pasok domestik. Padahal, bila diorkestrasi dengan baik, penyelenggaraan ibadah umrah dan haji bisa menjadi motor ekonomi nusantara.
Haji dan umrah sesungguhnya adalah mega rantai pasok. Sejak dari desa-desa kecil tempat calon jamaah menabung, hingga keramaian Makkah dan Madinah, setiap tahap menciptakan kebutuhan dan peluang ekonomi. Bayangkan bila koper jamaah diproduksi oleh UMKM Tegal, sajadah dari pengrajin Majalaya, busana ihram dari tekstil Majalengka, kurma kemasan dikombinasikan dengan produk hortikultura nusantara, dan katering halal mengandalkan beras, ayam, maupun rempah dari petani lokal. Potensi multiplier effect-nya amat besar. Dengan 1,3 juta jamaah umrah saja, hanya dari kebutuhan perlengkapan Rp2 juta per orang saja, nilai pasarnya sudah menembus Rp2,6 triliun. Tambahkan konsumsi obat, vaksin, asuransi perjalanan, hingga layanan digital maka angka itu bisa mendekati Rp10 triliun yang seharusnya menghidupi ribuan UMKM dalam negeri.
Kolaborasi tripartit antara BPKH, Bank Syariah, dan Kemenhaj akan melahirkan blueprint Hajumnomic Indonesia sebuah ekosistem ekonomi berbasis ibadah yang berkelanjutan. Di dalamnya, bank syariah berperan sebagai financial enabler dan risk manager, BPKH sebagai fund mobilizer, dan Kemenhaj sebagai policy integrator. Model ini akan memungkinkan setiap rupiah dana ibadah berputar produktif untuk pembangunan infrastruktur haji, pemberdayaan UMKM halal, serta penciptaan lapangan kerja baru di sektor riil selain akan memperkuat industri perbankan dan keuangan syariah nasional.
Data OJK menunjukkan kinerja perbankan syariah Indonesia terus meningkat. Per Agustus 2025, total aset perbankan syariah mencapai Rp979 triliun, tumbuh 8,15% yoy; pembiayaan naik 8,13%, dan dana pihak ketiga meningkat 7,37%, dengan pangsa pasar mencapai 7,44%. Angka ini menandakan fondasi industri yang semakin kokoh. Di tengah volatilitas global, bank syariah menunjukkan ketahanan dan daya inovasi yang tinggi, terutama dalam produk berbasis bagi hasil dan social finance.
Hakikat Hajumnomic adalah memadukan spiritualitas dan kemakmuran dalam satu ekosistem ekonomi berkeadilan. Ketika dana haji dikelola secara amanah dan produktif, ia tidak hanya memastikan keberangkatan jamaah, tetapi juga memberdayakan masyarakat luas. Setiap proyek yang lahir dari SRIA, setiap pembiayaan bagi PPIU/PIHK, setiap investasi sukuk atau deposito syariah, pada hakikatnya adalah bagian dari ibadah yang menyejahterakan.
Ibadah yang semula bersifat personal kini menjelma menjadi gerakan ekonomi kolektif. Hajumnomic memberi ruang bagi jamaah untuk menjadi pelaku, bukan sekadar konsumen. Dengan sinergi Bank Syariah, BPKH, dan Kemenhaj, Indonesia berpeluang menjadi pusat keuangan haji dunia, sekaligus model bagi negara Muslim lain dalam mengelola ekonomi ibadah secara terintegrasi.
Sudah saatnya bangsa ini memandang ibadah bukan hanya sebagai ritual, melainkan juga sebagai investasi sosial dan ekonomi. Sinergi Bank Muamalat bersama bank syariah lainnya, BPKH, dan Kemenhaj menjadi bukti bahwa ibadah dapat menumbuhkan kesejahteraan tanpa mengurangi kesucian niatnya. Inovasi seperti SRIA berbasis mudharabah membuka babak baru dalam pembiayaan syariah: membangun kampung haji di Tanah Suci, menciptakan lapangan kerja, dan memperluas manfaat bagi umat.
Ibadah yang sejati tidak berhenti di Tanah Haram, tetapi berlanjut dalam bentuk keberkahan di Tanah Air. Dan Hajumnomic adalah wujud konkret dari doa itu: agar setiap langkah menuju Baitullah menjadi jalan menuju kesejahteraan bangsa.

1 hour ago
2










































