Sri Mulyani: Gejolak Global Hambat Transisi Energi dan Aksi Iklim

19 hours ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengantisipasi dampak gejolak perekonomian global terhadap implementasi transisi energi. Saat berdiskusi dengan Perwakilan Khusus Inggris untuk Iklim, Rachel Kyte, Sri Mulyani menyoroti bahwa persoalan perubahan iklim, khususnya transisi energi, kian kompleks di tengah dinamika global. Kondisi rantai pasok yang terdisrupsi dinilai memperlambat proses transisi energi.

“Jika negara kehilangan investasi terhadap green energy karena kondisi ekonomi yang lemah, artinya proses transisi energi juga akan melambat dan penggunaan energi tak terbarukan seperti batu bara akan semakin panjang, sementara dampak perubahan iklim sendiri tidak terhindarkan,” kata Sri Mulyani, dikutip dari akun Instagram @smindrawati di Jakarta, Ahad (11/5/2025).

Ia menggarisbawahi bahwa situasi tersebut merupakan urgensi yang harus segera diatasi. Kementerian Keuangan mencatat bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mengalokasikan dana untuk aksi iklim sebesar Rp 610,12 triliun sepanjang 2016 hingga 2023.

Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Boby Wahyu Hernawan, memerinci bahwa realisasi pendanaan iklim dari APBN mencapai rata-rata Rp 76,3 triliun per tahun atau 3,2 persen dari total anggaran.

“Secara kumulatif, totalnya mencapai Rp 610,12 triliun. Ini baru mencakup 12,3 persen dari kebutuhan pembiayaan iklim hingga 2030,” ujar Boby.

Pemerintah terus mengoptimalkan pembiayaan publik dan mendorong keterlibatan sektor swasta. Dari sisi fiskal, Kemenkeu telah memberikan berbagai insentif pajak, seperti untuk sektor pembangkit listrik terbarukan dan kendaraan listrik.

Sejak 2019 hingga 2024, pemerintah telah memberikan insentif fiskal senilai Rp 38,8 triliun untuk sektor-sektor terkait iklim, dan angka ini diperkirakan mencapai Rp 51,5 triliun hingga akhir 2025.

Pemerintah juga menyusun skema pembiayaan inovatif seperti green sukuk, SDG bonds, dan penerapan taksonomi keuangan berkelanjutan. Di luar APBN, pemerintah mengembangkan skema blended finance, yakni kolaborasi pembiayaan antara publik dan swasta.

Dari sisi sektor swasta, pemerintah mendorong pelaku usaha untuk lebih proaktif dalam mengurangi emisi karbon, menerapkan praktik berkelanjutan, dan berinovasi dalam teknologi ramah lingkungan, termasuk efisiensi energi, ekonomi sirkular, serta pelaporan jejak karbon produk.

Pemerintah juga mendorong pelaku usaha untuk melakukan climate budget tagging dan mendukung implementasi kebijakan Nilai Ekonomi Karbon yang kini terbuka untuk pasar domestik dan internasional.

sumber : Antara

Read Entire Article
Politics | | | |