Oleh : Putu Rahwidhiyasa*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lanskap perdagangan global terus mengalami perubahan signifikan, terutama dengan penerapan "reciprocal tariffs" oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang menetapkan tarif impor berbeda-beda untuk berbagai negara. Indonesia dikenakan tarif impor sebesar 32 persen untuk produk ekspor ke AS. Kebijakan ini tidak hanya memengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar AS, tetapi juga menuntut penyesuaian strategi ekspor yang lebih komprehensif.
Artikel singkat ini mencoba mengeksplorasi peluang yang tersedia, dan merumuskan singkat strategi jangka menengah-panjang terkait ekspor untuk menghadapi tantangan di atas. Fokus utama adalah pada diversifikasi pasar, penguatan produk halal, dan optimalisasi kerja sama internasional.
Beberapa dampak Kebijakan Tarif Trump terhadap Ekspor Indonesia, yaitu: Pertama, Penurunan Daya Saing harga. Dengan tarif impor sebesar 32 persen, produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS. Hal ini mengurangi daya saing harga dibandingkan produk dari negara yang dikenakan tarif lebih rendah. Contohnya, produk tekstil dan alas kaki Indonesia harus bersaing dengan Peru atau Chili yang terkena tarif lebih rendah (10 persen). Kedua, Potensi Penurunan Volume Ekspor. Penurunan daya saing dapat menurunkan volume ekspor ke AS.
Ketiga, Ketergantungan pada Pasar AS. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), AS di Januari dan Februari 2025 masih merupakan negara Penyumbang Surplus Terbesar pada Neraca Perdagangan Non Migas (1.570 juta dolar AS), diikuti India (1.267,7 juta dolar AS) dan Filipina (753,3 juta dolar AS). Sektor penyumbang surplus ke AS adalah: Mesin dan perlengkapan elektrik
serta bagiannya (HS 85), Pakaian dan aksesorinya (rajutan) (HS 61), dan Alas kaki (HS 64).
Keempat, Dampak terhadap UMKM. UMKM yang bergantung pada ekspor ke AS menghadapi tantangan besar karena margin keuntungan yang mengecil. UMKM berpotensi kesulitan untuk menyesuaikan harga atau mencari pasar alternatif.
Strategi Jangka Menengah-Panjang untuk menghadapi Tantangan di atas. Pertama, Diversifikasi Negara Tujuan Ekspor (NTE) dengan memperluas Pasar ke Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Developing Eight (D-8). Negara-negara anggota OKI dan D-8 memiliki populasi Muslim yang besar dan permintaan tinggi terhadap produk halal. Total populasi negara OKI sekitar 2 (dua) miliar orang, dengan nilai pasar halal global di tahun 2022 sebesar 2,29 triliun dolar AS dan diperkirakan mencapai 3,1 triliun dolar AS pada tahun 2027 (SGIE Report, 2023/2024).
Indonesia sebagai negara dengan sertifikasi halal yang kuat dapat memanfaatkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal untuk memperluas ekspor. Beberapa langkah yang dapat dilakukan, antara lain: Membuka jalur distribusi langsung ke negara-negara Timur Tengah melalui kerja sama dengan importir lokal. Salah satu yang dapat dioptimalkan adalah keberadaan BPKH Limited di Saudi Arabia; dan Meningkatkan partisipasi dalam pameran dagang halal internasional seperti Gulfood Dubai atau Halal Expo Turki.
Diversifikasi NTE dapat juga dilakukan dengan Fokus pada Negara dengan “Kedekatan” Budaya dan Kemudahan Aturan Perdagangan. Berdasarkan kajian, negara seperti Malaysia, Thailand, Turki, Bangladesh dan India memiliki “kedekatan” budaya dan kemudahan (relatif) dalam aturan perdagangan. Negara dengan kemudahan (relatif) dalam aturan perdagangan, tetapi tidak mirip di sisi budaya, antara lain: Kanada, Perancis, Spanyol, Italia dan Rusia.
Kedua, Penguatan Produk Halal sebagai Keunggulan Kompetitif, yaitu melalui: a. Pengembangan Produk Bernilai Tambah Tinggi. Indonesia harus beralih dari ekspor bahan mentah ke produk olahan bernilai tambah tinggi, seperti: Makanan siap saji halal (contoh: mie instan halal, makanan beku), Kosmetik dan produk perawatan tubuh halal, dan Produk farmasi dan kesehatan halal. KNEKS dan BRIN bekerja sama melakukan riset Model Ekosistem Industri Farmasi dan Kosmetik Halal Berbasis IKM Untuk Memperkuat Daya Saing Ekspor; b. Sertifikasi dan Standarisasi Internasional, yaitu dengan: Mempercepat sertifikasi halal untuk produk ekspor melalui saling keberterimaan (mutual recognition agreement) dengan lembaga sertifikasi internasional, Lembaga Halal Luar Negeri (LHLN) dan Membentuk Pusat Riset Halal untuk inovasi produk halal.
Ketiga, Optimalisasi Peran Diplomasi dan Kelembagaan, yaitu: a. Memanfaatkan Kepemimpinan Indonesia di D-8 dan OKI sebagai katalis untuk integrasi ekonomi. Mulai Januari 2026, Indonesia akan menjadi Ketua D-8. Indonesia juga direncanakan akan menjadi Ketua Executive Committee OKI. Hal ini adalah peluang untuk mempromosikan produk halal Indonesia di kancah global dan memperkuat rantai pasok halal antar Anggota OKI dan D-8.; b. Kolaborasi dengan Badan Kebijakan (BK) Perdagangan dan Kementerian Terkait. KNEKS dan BK Perdag beberapa waktu lalu telah melakukan kajian untuk merekomendasikan alternatif 5 NTE prioritas untuk produk halal.
Keempat, Dukungan untuk UMKM, berupa: a. Pelatihan dan Pendampingan. Program pelatihan digital marketing untuk UMKM agar dapat menjangkau pasar global dan pendampingan dalam memenuhi standar ekspor.; b. Insentif dan Pembiayaan. Keringanan pajak untuk Eksportir Pemula, misalnya. Termasuk Skema pembiayaan ekspor melalui LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia).
Strategi di atas tentu juga menghadapi beberapa tantangan. Misalnya: Persaingan dengan negara produsen halal lain, seperti Malaysia dan Turki.; Hambatan non-tarif di negara tujuan (contoh: sertifikasi yang rumit); dan Keterbatasan infrastruktur logistik untuk ekspor. Insya Allah dengan kerja bersama, tantangan-tantangan di atas dapat diselesaikan dengan baik.
Sebagai penutup, kebijakan tarif Trump memang menimbulkan tantangan serius bagi ekspor Indonesia, tetapi juga membuka peluang untuk melakukan transformasi strategis dalam jangka menengah-panjang, disamping upaya negosiasi dalam jangka pendek. Dengan memfokuskan pada diversifikasi pasar, penguatan produk halal, dan kolaborasi internasional, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan pada AS, tetapi juga menciptakan fondasi yang lebih kuat untuk pertumbuhan ekspor di masa depan. Langkah-langkah konkret harus segera diimplementasikan oleh semua Pemangku Kepentingan.
*) Direktur Bisnis dan Kewirausahaan Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS)