Transformasi Pendidikan Berbasis STEM Kunci Terwujudnya Generasi Unggul untuk Indonesia Emas

4 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transformasi pendidikan berbasis STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) menjadi kunci bagi terwujudnya generasi unggul dan berdaya saing tinggi untuk mendukung Indonesia Emas 2045.

Anggota Tim Penasihat Ahli Kementerian Pendidikan Dasar Menengah (Kemendikdasmen), Dr Stephanie Riady, B.A., M.Ed., dalam keterangannya menilai sistem pendidikan sains dan teknologi di Indonesia perlu diubah secara fundamental.

Tujuannya, agar lebih relevan dengan kehidupan siswa masa kini. “Sains sejatinya adalah cara berpikir, yaitu bagaimana melihat persoalan, merumuskan solusi, dan mengubah pengetahuan menjadi tindakan,” ujar Dr Stephanie dalam keterangan Kamis (22/5/2025).

Perempuan yang juga aktif sebagai penggiat pendidikan, filantropi, dan pengembangan program pendidikan berbasis nilai, inovasi, dan kolaborasi lintas sektor itu menilai, pembelajaran sains dan matematika di Tanah Air masih kerap terjebak pada pendekatan lama seperti hafalan rumus, ujian pilihan ganda, dan minimnya praktik di kelas.

Padahal, di tengah revolusi teknologi global, pendidikan berbasis STEM bukan lagi sekadar pilihan melainkan kebutuhan mendesak. Sebab dunia saat ini menuntut generasi muda mampu berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif.

Menurutnya, selama ini banyak siswa merasa asing dengan pelajaran STEM karena pendekatan pembelajarannya kurang membumi. Padahal, bidang ini punya potensi besar dalam membentuk pola pikir logis dan kreatif yang sangat dibutuhkan di era kecerdasan buatan saat ini.

Dr Stephanie mencontohkan negara-negara seperti Korea Selatan dan Finlandia yang telah membuktikan dampak positif dari investasi jangka panjang dalam pendidikan STEM.

Korea Selatan, misalnya, telah menjadikan STEM sebagai prioritas sejak 1960-an dan kini menjadi salah satu negara dengan ekonomi berbasis teknologi tinggi.

Finlandia pun dikenal luas dengan sistem pendidikan inovatif yang menekankan kreativitas dan pembelajaran lintas disiplin.

Ia juga menggarisbawahi data dari Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-71 dari 80 negara dalam literasi sains.

Data ini menunjukkan, meskipun anak-anak Indonesia bersekolah, mereka belum sepenuhnya diajarkan cara berpikir ilmiah.

Sementara itu, laporan Fixing the Foundation dari Bank Dunia mengungkapkan banyak program pelatihan guru di negara berpenghasilan menengah termasuk Indonesia, belum dirancang secara efektif, terutama dalam hal penguasaan konten dan metodologi pengajaran STEM.

“Vietnam bisa menjadi contoh inspiratif. Mereka mereformasi kurikulum sejak 2010 dengan pendekatan berbasis proyek. Hasilnya, performa siswa mereka kini sejajar dengan negara-negara maju,’’ katanya.

Menurut Dr Stephanie, yang juga menjabat Direktur Eksekutif Yayasan Pendidikan Pelita Harapan (YPPH) dan Presiden Universitas Pelita Harapan (UPH), Malaysia pun terus mendorong partisipasi siswa di jalur STEM melalui pelatihan guru, insentif sekolah, dan kemitraan dengan industri.

Ia menambahkan, Indonesia sejatinya memiliki potensi besar dalam pengembangan pendidikan sains dan teknologi. Berbagai inisiatif seperti pelatihan robotik di Yogyakarta, kompetisi inovasi di Jakarta, hingga pengembangan alat berbasis Internet of Things (IoT) oleh mahasiswa di Surabaya menjadi bukti ekosistem inovasi mulai tumbuh dan patut diapresiasi.

Namun, potensi ini perlu diperkuat melalui sistem pendidikan yang mendukung serta kebijakan yang tepat. Menurutnya, inisiatif semacam ini harus diperluas dan diintegrasikan dengan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari sekolah dan guru, hingga pemerintah serta sektor swasta.

“Tidak semua anak harus jadi ilmuwan. Namun, setiap anak perlu tahu cara mengamati, berpikir, dan menyelesaikan masalah. Karena masa depan tak dibangun oleh hafalan tetapi keberanian untuk bertanya, mencoba, dan gagal, lalu bangkit kembali,” ucap Dr Stephanie.

Read Entire Article
Politics | | | |