Warmindo (Istimewa).
Warmindo, Ikon Urang Kuningan di Tanah Rantau
KUNINGAN – Di tengah keramaian kota-kota dan hiruk pikuk kesibukan para pekerja, pelajar dan mahas9iswa, keberadaan Warmindo hadir sebagai penghilang rasa lapar dengan harga terjangkau. Namun, tak hanya sekedar tempat makan, Warmindo – yang merupakan singkatan dari Warung Makan Indomie – juga menjadi simbol kegigihan warga Kabupaten Kuningan di tanah rantau.
Di Warmindo, mie instan memang menjadi menu utamanya. Mie itu dikreasikan dengan topping, varian kuah atau goreng, terkadang juga ada nasi atau lauk tambahan.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Pj Sekda Kabupaten Kuningan, Wahyu Hidayah, menjelaskan, Warmindo tidak langsung muncul sebagai warung mie instan. Dari sejumlah sumber menyebutkan, cikal bakal Warmindo adalah warung Burjo (warung bubur kacang ijo), yang populer sejak tahun 1940-an di Yogyakarta.
Contoh tokoh yang mengawali usaha Burjo dari Kuningan adalah Rurah Salim, yang merantau dan membuka usaha Burjo keliling di Yogyakarta sekitar tahun 1943.
Warung Burjo yang didirikan para perantau asal Kuningan pun semakin lama kian menjamur dan mendapat tempat di hati penikmat kuliner. Warung Burjo semakin populer pada tahun 1980-an di Yogyakarta, dengan menu utama bubur kacang hijau.
Seiring berjalannya waktu, warung Burjo mulai menawarkan menu makanan lain, terutama berupa mie instan, nasi goreng dan lauk sederhana. Tujuannya, untuk menarik pembeli yang lebih banyak.
“Mie instan menjadi menu yang populer karena cepat, murah, bisa dibuat dalam banyak variasi,” kata Wahyu, belum lama ini.
Ia mengatakan, meskipun warung-warung semacam itu sudah ada lebih dulu dengan nama warung Burjo, popularitas penggunaan istilah Warmindo baru muncul kemudian. Hal itu terutama sejak menu mie instan makin dominan di warung tersebut.
Bahkan, saat ini kebanyakan Warmindo sudah tidak menjadikan bubur kacang hijau sebagai menu andalan. Justru menu mie instan, nasi dan lauk, yang menjadi andalan pembeli Warmindo yang rata-rata berasal dari pelajar dan mahasiswa.
Pergeseran makanan yang disajikan tersebut karena kebanyakan pembeli merasa bubur kacang hijau kurang mengobati rasa lapar mereka. Uang yang terbatas juga menjadi alasan lain mengapa nasi, lauk, serta mie instan lebih diminati untuk makan dibandingkan bubur kacang hijau.
Warmindo makin marak di lokasi strategis seperti dekat kampus, kos-kosan, pemukiman maupun perkantoran. Suasana warung juga dibuat nyaman untuk nongkrong melepas penat.
Tradisi orang Kuningan berdagang bubur kacang hijau (burjo), yang kemudian beralih menjadi Warmindo, tak hanya menyebar di Yogyakarta. Namun juga kota-kota lainnya.
Di Yogyakarta, para perantau Kuningan telah membentuk Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) sejak 2010.
Ketua PPWK, Andi Waruga, menjelaskan, saat ini terdapat sekitar 800 outlet Warmindo milik warga Kuningan di Yogyakarta. Setiap Warmindo, mampu menyerap tiga sampai empat tenaga kerja. Jika ditambah dengan penjual gorengan serta usaha penopang lainnya, hampir 5.000 orang Kuningan yang bekerja di Yogyakarta.
“Warmindo bukan hanya warung, tapi ikon wajah keramahan urang (orang) Kuningan. Ini ruang hidup yang lahir dari semangat merantau, keberanian memulai, dan keringat di tanah orang lain, yang hasilnya membawa berkah untuk keluarga di kampung halaman,” tukas Andi.
Tak hanya di antara pengusaha Warmindo, kuatnya persaudaraan di antara perantau Kuningan juga melebar ke kalangan mahasiswa yang merantau di Yogyakarta. Hal itu terlihat dari sikap pengusaha Warmindo, yang memperbolehkan mahasiswa asal Kuningan untuk ngutang makan di Warmindo jika belum mendapat kiriman dari kampung halaman. (Lilis Sri Handayani)

2 weeks ago
10














































