REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Chief Investment Officer for North Asia Bank DBS Yeang Cheng Ling memperingatkan suku bunga global yang bertahan tinggi dalam jangka waktu panjang berpotensi meningkatkan tekanan terhadap rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) dan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk di Indonesia.
Menurutnya, risiko ini perlu diwaspadai di tengah ketidakpastian arah kebijakan bank sentral global, khususnya Amerika Serikat. Ia menekankan, tekanan terhadap kualitas aset dan daya tahan pelaku usaha dapat memburuk jika kondisi tersebut terus berlanjut.
“Jika suku bunga tetap tinggi dalam jangka waktu yang berkepanjangan, maka akan ada lebih banyak tekanan pada NPL dan tekanan terhadap UMKM,” ujar Yeang dalam media briefing DBS Chief Investment Officer (CIO) Insights bertajuk “Resilience Amid Tariffs”, Rabu (9/4/2025).
Yeang menjelaskan, negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki proporsi besar pelaku UMKM dan ketergantungan pada pembiayaan perbankan sangat rentan terhadap dampak tersebut. Di sisi lain, tekanan turut datang dari pasar keuangan, terutama rendahnya minat investor global terhadap surat utang negara berkembang.
Senior Investment Strategist Bank DBS Daryl Ho, menyebut kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia masih berada jauh di bawah rata-rata historis. Ketidakpastian global dan tingginya imbal hasil obligasi Amerika Serikat membuat investor lebih memilih aset dalam denominasi dolar.
“Kepemilikan asing di obligasi Indonesia saat ini jauh di bawah rata-rata historis. Tidak ada urgensi besar untuk investor global masuk ke pasar obligasi berisiko,” ujar Daryl.
Ia menambahkan, situasi tersebut turut menyebabkan biaya pendanaan di negara berkembang tetap tinggi, sehingga memperberat beban pelaku UMKM yang mengandalkan pinjaman.
Sementara itu, Senior Investment Strategist Bank DBS, Joanne Goh, menilai kondisi ini menciptakan tantangan berlapis bagi negara-negara seperti Indonesia, yang harus menjaga stabilitas nilai tukar, mendukung pertumbuhan ekonomi, serta menjaga kesehatan fiskal secara bersamaan.
“Ketika suku bunga tinggi bertahan lebih lama, Anda akan melihat dampaknya terhadap kinerja utang, UMKM, dan juga terhadap tekanan fiskal,” kata Joanne.