REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menyatakan aset kripto berpotensi menjadi objek zakat. Namun, implementasinya di Indonesia masih menunggu fatwa resmi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sementara itu, Malaysia telah lebih dulu menetapkan kripto sebagai harta yang wajib dizakati.
“Di Malaysia itu kripto sudah menjadi objek zakat yang wajib dizakati karena sudah ada fatwanya. Tapi di Indonesia, kita masih menunggu fatwa dari MUI,” ujar Direktur Pusat Kajian Strategis Baznas, Muhammad Hasbi Zaenal, dalam acara “Fast and Generous” yang digelar dalam rangka Sharia Investment Week 2025 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (20/6/2025).
Menurut Hasbi, selama aset tersebut masuk dalam kategori al-mal, maka ia bisa menjadi objek zakat. Ia menjelaskan, al-mal adalah semua jenis harta yang memiliki nilai, harga, dan sifatnya suci secara syariat.
“Al-mal itu sebenarnya semua jenis barang yang memiliki nilai, memiliki harga, dan sifatnya suci. Itu mal,” jelasnya.
Hasbi menambahkan, Baznas baru akan mengadopsi ketentuan zakat atas kripto setelah ada keputusan dari otoritas fatwa. “Kalau MUI sudah mengeluarkan fatwa itu, maka Baznas sebagai lembaga pemerintah yang dibentuk negara untuk mengelola zakat, infak, dan sedekah, nanti baru kami mengendorsenya,” ucapnya.
Hasbi juga menekankan pentingnya kesiapan ekosistem digital zakat dalam menghadapi transformasi bentuk harta. Ia menilai ke depan, bentuk kekayaan akan semakin beragam, termasuk dalam bentuk digital dan nonfisik.
“Kita tidak tahu, 10 tahun ke depan, 20 tahun ke depan, harta itu mungkin hanya di tangan, atau bahkan di retina kita. Barangnya sudah tidak ada,” ujarnya.
Menurutnya, perkembangan ini menuntut lembaga zakat untuk adaptif dan responsif terhadap perubahan teknologi keuangan, termasuk dalam pengelolaan zakat dari instrumen seperti saham, sukuk, dan aset digital lainnya.