Angka Pemberian ASI Ekslusif di Indonesia Sempat Anjlok, Apa Penyebabnya?

5 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kabar memprihatinkan datang terkait praktik pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif di Indonesia. Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) menyampaikan, berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), terjadi tren penurunan signifikan praktik pemberian ASI eksklusif dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2018 angka pemberian ASI eksklusif (pemberian ASI saja tanpa tambahan makanan atau minuman lain selama enam bulan pertama kehidupan bayi) mencapai 64,5 persen. Angka ini merosot tajam menjadi hanya 52,5 persen pada 2021.

ASI dinilai sebagai makanan terbaik bagi bayi, khususnya bayi berusia 0-6 bulan,  yang tidak dapat tergantikan oleh makanan atau minuman lainnya. Pemberian ASI bukan hanya memenuhi hak ibu dan anak, tetapi juga memiliki banyak manfaat jangka panjang. 

Anak yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki peluang lebih tinggi untuk tumbuh dan  berkembang dengan optimal, dan tidak mudah sakit. Menyusui juga mempererat ikatan emosional antara ibu dan anak, yang penting untuk membentuk ketahanan pribadi dan  kemandirian anak di masa depan. 

Berdasarkan laporan WHO Indonesia pada Agustus 2023, ada tren mengkhawatirkan lainnya terkait praktik pemberian ASI di Tanah Air. Data menunjukkan penurunan signifikan dalam inisiasi menyusui dini (IMD) yaitu pemberian ASI dalam satu jam pertama kehidupan bayi.

Penundaan pemberian ASI pada bayi baru lahir dinilai memiliki dampak negatif terhadap kelangsungan hidup bayi, serta meningkatkan risiko  infeksi dan penyakit. Pada 2021, hanya 48,6 persen bayi yang menerima ASI dalam periode krusial ini. Angka itu mengalami penurunan yang cukup tajam dibandingkan angka 58,2 persen pada 2018. Hal ini disampaikan Asosiasi Ibu Menyusui (AIMI) dalam webinar bertema “Sebuah Refleksi 18 Tahun AIMI Terkait Kebijakan  Perlindungan Menyusui di Indonesia” pada Senin (21/4/2025).

Ketua Umum AIMI 2007-2018 Mia Sutanto mengatakan perjalanan kebijakan  pemberian makanan bayi dan anak di Indonesia memang telah menunjukkan kemajuan,  namun kita masih menghadapi banyak tantangan. Dia menyatakan telah terjadi peningkatan pemberian ASI eksklusif di Indonesia. Dengan data pada 2007, memperlihatkan hanya 32 persen anak di bawah usia 6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dan meningkat menjadi 68,6 persen pada 2023, menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI).

“Kita harus memperkuat kebijakan yang  mendukung pemberian ASI eksklusif dan mengurangi pengaruh negatif dari pemasaran susu formula,” ujarnya.

AIMI menyampaikan penyebab utama penurunan ASI ekslusif di antaranya karena kurangnya dukungan di tempat kerja, adanya promosi susu formula yang tidak etis, dan kesenjangan informasi mengenai pemberian ASI yang benar. Meskipun hasil dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) pada 2023 menyebutkan proporsi ASI Eksklusif 0-5 bulan secara nasional adalah 68,6 persen, namun angka ini masih jauh dari target nasional yaitu 80 persen untuk capaian ASI Eksklusif.

Beberapa kebijakan signifikan telah diterapkan untuk mendukung pemberian ASI eksklusif di Indonesia. Salah satunya Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 yang mengatur pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024, yang semakin memperkuat regulasi tentang pemasaran susu formula dan produk pengganti ASI.

Selain itu, kebijakan terbaru yang sangat penting adalah UU Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Aturan ini menegaskan hak anak dan ibu dalam menyusui, termasuk hak pendonor ASI, serta kewajiban penyediaan ruang laktasi di tempat kerja dan fasilitas umum.

Founder pelanggarankode.org Irma Hidayana mengatakan pelanggaran terhadap kode pemasaran susu formula menghambat implementasi kebijakan perlindungan menyusui. “Produsen susu formula makin eksploitatif mempengaruhi ibu, para nakes, dan masyarakat luas melalui berbagai cara, seperti menggunakan influencer, momfluencers, dan bekerja sama dengan asosiasi tenaga kesehatan, untuk membangun citra positif produk susu formula,” ujarnya.

Menurut Sekjen AIMI Pusat Lianita Prawindarti,

perkembangan tren promosi susu formula yang tidak etis semakin “mengganggu” usaha AIMI dalam mempromosikan pemberian ASI. “AIMI berkomitmen terus mendukung ibu menyusui dengan memberikan edukasi dan advokasi kepada pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang lebih mendukung ibu menyusui dan membatasi praktik pemasaran susu formula,” ujarnya.

AIMI merayakan Hari Jadi ke-18 tahun pada hari ini. Pada kesempatan itu, AIMI memberikan beberapa rekomendasi untuk terus meningkatkan perlindungan ibu menyusui di Indonesia. Salah satunya peningkatan implementasi kebijakan. AIMI mendesak pemerintah untuk memperkuat implementasi kebijakan ASI eksklusif, baik di tempat kerja maupun fasilitas umum dengan pengawasan yang lebih ketat.

Di samping itu, UU KIA yang baru saja disahkan pada 2024 yang mengatur cuti melahirkan 6 bulan di mana sejalan dengan masa pemberian ASI eksklusif, dinilai belum bisa dirasakan penuh oleh seluruh ibu. Pasalnya cuti tersebut hanya berlaku pada ibu atau bayi yang memiliki kondisi khusus atau masalah kesehatan tertentu dengan melampirkan surat keterangan dokter.

Selain itu, cuti ayah yang sangat minim juga menjadi tantangan besar, karena peran ayah dalam mendukung ibu menyusui dan pengasuhan bayi sangat penting. Dukungan dari suami dan keluarga, terutama dalam membantu ibu menyusui, perlu diakui dan diprioritaskan dalam kebijakan perlindungan ibu dan anak.

Rekomendasi lainnya yaitu penyediaan fasilitas menyusui yang memadai. Pemerintah dinilai harus menyediakan fasilitas menyusui yang memadai di tempat tempat umum serta mendorong tempat kerja dan pihak swasta untuk menyediakan fasilitas menyusui untuk memberikan kenyamanan bagi ibu menyusui.

Read Entire Article
Politics | | | |