Muliadi Saleh
Agama | 2025-06-04 11:35:14

Oleh: Muliadi Saleh
Oleh: Muliadi Saleh
Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan
Select an ImageOleh: Muliadi SalehPenulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan
"Menulis Untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban"
Di hamparan padang pasir, di bawah langit yang membentang luas, terdapat tiga titik suci yang menjadi saksi bisu perjalanan spiritual umat Islam: Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Ketiganya dikenal dengan singkatan ARMUZNA. Pusat pergerakan ibadah haji yang sarat makna dan sejarah.
Arafah: Padang Ma'rifah
Arafah, sebuah padang luas yang terletak sekitar 20 kilometer sebelah timur Makkah, menjadi lokasi wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah. Wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling utama, di mana jamaah berkumpul sejak tergelincir matahari hingga terbenam, berdoa, berzikir, dan merenung.
Nama "Arafah" diyakini berasal dari kata "arafa" yang berarti "mengetahui" atau "mengenal". Menurut beberapa riwayat, di tempat inilah Nabi Adam dan Siti Hawa dipertemukan kembali setelah terpisah dari surga, saling mengenal dan memohon ampun kepada Allah SWT.
Wukuf di Arafah bukan sekadar berkumpul, tetapi merupakan momen introspeksi dan penghambaan total kepada Sang Pencipta. Di sinilah jamaah haji merasakan kedekatan spiritual yang mendalam, memohon ampunan dan rahmat-Nya.
Dalam tradisi tasawuf, wukuf di Arafah dipandang sebagai momen yang ideal untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Berdiri di padang yang luas, di bawah terik matahari, jamaah haji dihadapkan pada kesendirian spiritual yang mendalam. Ini adalah waktu untuk merenungkan perjalanan hidup, mengakui kesalahan, dan bertekad untuk memperbaiki diri. Wukuf di Arafah menjadi simbol penyucian jiwa, di mana seorang hamba memohon ampunan dan rahmat Allah dengan sepenuh hati. Proses ini sejalan dengan konsep takhalli (mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela) dan tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dalam ajaran tasawuf .
Muzdalifah: Malam Kesunyian dan Persiapan
Setelah wukuf di Arafah, jamaah bergerak menuju Muzdalifah, sebuah area terbuka yang terletak antara Arafah dan Mina. Di sini, mereka melakukan mabit atau bermalam pada malam 10 Dzulhijjah, mengumpulkan batu kerikil yang akan digunakan untuk melontar jumrah di Mina.
Muzdalifah disebut juga sebagai "Masy'aril Haram" atau tempat ibadah yang suci. Nama "Muzdalifah" berasal dari kata "izdalafa" yang berarti "mendekat", menggambarkan pendekatan diri kepada Allah SWT.
Malam di Muzdalifah adalah waktu untuk merenung dalam kesunyian, mengingat kembali tujuan hidup dan memperkuat tekad untuk menjadi hamba yang lebih taat. Jamaah haji bermalam di tempat terbuka di Muzdalifah tanpa memandang status sosial, menunjukkan kesetaraan dan ketundukan kepada Allah SWT. Muzdalifah adalah tempat untuk mengingat Allah dengan berdzikir dan berdoa. Ini menjadi pengingat pentingnya ketenangan hati dan hubungan yang lebih dekat dengan Sang Pencipta .
Mina: Simbol Pengorbanan dan Keteguhan Iman
Pagi hari 10 Dzulhijjah, jamaah melanjutkan perjalanan ke Mina untuk melaksanakan ritual melontar jumrah, yaitu melemparkan batu kerikil ke tiga tiang yang melambangkan setan: Jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah. Ritual ini mengingatkan pada kisah Nabi Ibrahim yang digoda oleh setan saat hendak mengorbankan putranya, Nabi Ismail, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Melontar jumrah merupakan simbol perlawanan terhadap godaan dan nafsu yang menyesatkan. Setelah melontar jumrah Aqabah, jamaah melakukan penyembelihan hewan kurban dan tahallul, yaitu mencukur rambut sebagai tanda berakhirnya sebagian larangan ihram. Jamaah kemudian kembali bermalam di Mina selama hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah), melanjutkan melontar ketiga jumrah setiap harinya.
Dalam pandangan tasawuf, melempar jumrah adalah simbol sikap tegas manusia untuk melakukan perlawanan terhadap segala setan dan segala pengaruhnya. Karena setanlah yang telah menyesatkan manusia dari jalan Allah yang lurus. Melempar jumrah dengan mengucapkan takbir “Allahu Akbar”. Hanya dengan takbir yang bermakna pengakuan kuat dan perlindungan kepada Allah yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa maka manusia dapat melindungi diri dengan godaan setan dengan jalan selalu taat kepada Allah .
Makna dan Refleksi bagi yang Tidak Berhaji
Bagi umat Islam yang belum berkesempatan menunaikan haji, ARMUZNA tetap memberikan pelajaran berharga. Arafah mengajarkan pentingnya introspeksi dan memohon ampunan, Muzdalifah mengingatkan akan kesederhanaan dan persiapan diri, sementara Mina menekankan pentingnya pengorbanan dan keteguhan iman dalam menghadapi godaan hidup.
Kita dapat mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, dengan meningkatkan ibadah, memperbaiki diri, dan berkomitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, misalnya, dianjurkan bagi yang tidak berhaji, dengan harapan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang .
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.