Bantuan Pesantren Dialihakan Jadi Beasiswa, DPRD Jabar: KDM Suka Eksekusi Tanpa Musyawarah

4 hours ago 5

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG-- Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mewacanakan akan mengalihkan bantuan ke pesantren menjadi beasiswa bagi santri di Jawa Barat. Diketahui, wacana tersebut kembali mencuat setelah Dedi Mulyadi menyampaikannya dalam pertemuan bersama Biro Kesejahteraan Rakyat dan diunggah di kanal YouTube Lembur Pakuan, pada 2 Mei 2025 lalu.

Menanggapi wacana ini, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maulana Yusuf Erwinsyah mengatakan, pihaknya mengapresiasi niat baik Gubernur untuk memperluas akses pendidikan bagi santri melalui program beasiswa. Namun, Maulana menekankan pentingnya memastikan setiap kebijakan publik dijalankan berdasarkan dasar hukum yang jelas, mekanisme teknis yang terukur, dan prinsip keadilan.

“Beasiswa ini kan baik ya, tapi harus jelas dulu mekanismenya. Kadang Kang Haji Dedi ini suka eksekusi dulu tanpa teknis dan musyawarah,” ujar Maulana kepada wartawan, Ahad (4/5/2025).

Menurut Maulana, bantuan untuk pesantren baik dalam bentuk fisik maupun beasiswa, bukanlah hal yang seharusnya dipertentangkan atau dipilih salah satunya. Ia menilai, jika pemerintah memang memiliki keberpihakan nyata terhadap dunia pesantren, maka seharusnya kedua bentuk bantuan itu bisa diberikan secara bersamaan.

“Buat saya, bantuan fisik dan beasiswa itu bukan sesuatu yang harus dipilih salah satu. Kalau pemerintah memang benar-benar berpihak pada pesantren, kenapa tidak dua-duanya diberikan?” kata Maulana.

Maulana juga menyoroti potensi bias dalam pendataan jika acuan penerima beasiswa hanya berasal dari lembaga pendidikan formal. Pasalnya, ribuan pesantren tradisional nonformal yang belum memiliki legalitas formal berisiko tidak terakomodasi.

“Kalau data santri hanya diambil dari lembaga pendidikan formal, maka ribuan pesantren tradisional yang belum terdaftar bisa tidak terjangkau. Ini justru bertentangan dengan semangat keberpihakan terhadap kelompok miskin,” katanya.

Menurutnya, ada kerancuan dalam skema beasiswa jika yang menerima adalah santri yang juga tercatat sebagai siswa di sekolah formal. Sebab, dasar pendataan kemungkinan besar akan mengacu pada DAPODIK (Data Pokok Pendidikan), yang hanya mencakup peserta didik di lembaga pendidikan formal.

“Kalau dasarnya DAPODIK, ya itu sebenarnya bukan beasiswa santri, tapi beasiswa siswa sekolah. Tanpa skema ini pun, siswa di sekolah formal sudah memiliki banyak bentuk bantuan. Intinya penerima beasiswa ini santri yang mana? Pesantren kecil saja bukan tidak mau menerima bantuan, tapi terhalang legalitas. Apalagi santri,” paparnya.

Maulana juga menilai bahwa bantuan kepada individu tidak boleh mengabaikan kebutuhan lembaga. Menurutnya, pesantren tetap membutuhkan dukungan infrastruktur, tenaga pengajar, dan fasilitas dasar agar bisa menjalankan fungsinya secara optimal.

“Kita juga tidak bisa menafikan pentingnya dukungan untuk lembaga. Beasiswa memang membantu individu, tapi lembaga pesantren tetap butuh infrastruktur, kualitas pengajar, dan sarana dasar untuk menjalankan fungsinya. Membantu santri tanpa memperkuat lembaganya bisa ibarat memberi makan ikan tanpa memperbaiki kolamnya,” katanya.

Karena itu, Maulana menekankan pentingnya merancang skema bantuan yang bersifat menyeluruh dan berbasis data, bukan membenturkan antara beasiswa dengan bantuan kelembagaan. “DPRD siap berdialog agar program tersebut tepat sasaran dan tidak sekadar menjadi retorika yang sulit dieksekusi,” katanya.

Read Entire Article
Politics | | | |