REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ekonomi syariah dari IPB University, Irfan Syauqi Beik, menegaskan proses pemindahan kepemilikan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) dari Bank Mandiri ke Danantara harus memiliki landasan hukum yang kuat. Ia menekankan pentingnya kepastian regulasi, mengingat BSI merupakan perusahaan terbuka.
“Ketika BSI dikatakan di-spin off, dipisahkan langsung di bawah Danantara, maka proses hukumnya harus jelas. Sistemnya kini agak berbeda, dan Kementerian BUMN nantinya juga berperan sebagai regulator,” ujar Irfan kepada Republika, dikutip Senin (9/6/2025).
Irfan menyampaikan, status BSI sebagai perusahaan yang sudah melantai di bursa menuntut adanya kepastian hukum dalam setiap langkah transformasi yang dilakukan. “BSI harus dipastikan bahwa proses hukumnya berjalan baik. Apalagi ini perusahaan yang sudah go public,” ujarnya.
Saat ini, BSI berada di bawah naungan Bank Mandiri sebagai pemegang saham pengendali. Dengan perubahan kepemilikan ke Danantara, posisi kelembagaan BSI kini menjadi sejajar dengan induk barunya. “BSI ini secara kelembagaan yang tadinya dimiliki Bank Mandiri, kini langsung di bawah Danantara. Artinya, ada posisi yang sejajar,” jelas Irfan.
Ia menambahkan, perubahan struktur ini perlu diikuti dengan revisi rencana bisnis secara resmi. “Karena ini sudah memasuki bulan Juni, tentu perlu ada penyesuaian dari sisi rencana bisnis bank,” ujarnya.
Irfan juga mengingatkan agar dukungan yang selama ini diberikan Bank Mandiri, terutama dalam aspek teknologi dan permodalan, tidak berkurang. “Jangan sampai dukungan dari pemegang saham pengendali yang sebelumnya Mandiri dan kini berpindah ke Danantara kemudian menurun. Hal ini krusial agar tidak timbul persoalan layanan,” katanya.
Menurut Irfan, kerangka hukum untuk mendukung penguatan ekonomi syariah nasional saat ini sudah cukup memadai. Ia merujuk pada keberadaan Undang-Undang RPJP Nasional, Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024, Undang-Undang P2SK, serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023.
Ia juga menyinggung aturan teknis dari OJK yang dinilainya sebagai peluang besar bagi perbankan syariah untuk terlibat aktif dalam pengelolaan wakaf. “Kita sudah diuntungkan dengan adanya POJK Nomor 26 Tahun 2024 yang membuka ruang bagi bank syariah untuk mengembangkan perwakafan,” tutur Irfan.
Dengan landasan hukum tersebut, Irfan berharap BSI tidak hanya menjadi simbol, tetapi diberi misi strategis. “Jangan sampai BSI hanya menjadi lip service, tetapi harus benar-benar didorong untuk berperan strategis,” ujarnya.
Ia juga mengusulkan agar BSI diberikan target konkret, khususnya dalam penghimpunan wakaf uang. “Misalnya, bisa tidak BSI sebagai nazir wakaf menghimpun 10 persen dana wakaf uang? Jika dari total Dana Pihak Ketiga (DPK), potensi yang bisa digarap bisa mencapai Rp 30–40 triliun,” kata Irfan.