Budaya di Era Post-Truth: Sumber Etika atau Alat Legitimasi?

1 hour ago 2

Image Aidila Nurrahmah

Culture | 2025-11-12 13:23:58

Sekarang ini, kita hidup di zaman yang disebut post-truth. Artinya, banyak orang lebih percaya dengan perasaan atau pendapat pribadi daripada fakta yang sebenarnya. Akibatnya, berita bohong atau hoaks menjadi mudah sekali menyebar, selain itu dengan adanya media sosial yang semua orang bisa akses untuk share apa saja, tanpa berpikir benar atau salah. Salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya pemahaman masyarakat soal literasi digital, ditambah lagi dengan semakin tingginya perpecahan atau polarisasi di masyarakat.

Di tengah kondisi seperti itu, budaya sebenarnya bisa menjadi sebagai pegangan kita. Budaya mempunyai nilai-nilai yang bisa membantu kita menentukan mana yang baik dan mana yang salah. Tapi di sisi lain, budaya juga bisa disalahgunakan untuk membenarkan hal-hal yang tidak benar. Misalnya, ada beberapa tindakan atau kebijakan yang sudah jelas merugikan orang lain, tapi tetap dijalankan dengan alasan “ini demi budaya kita”. Padahal belum tentu itu nilai budaya yang sesungguhnya.

Jika dilihat dari sejarahnya, budaya dalam masyarakat tradisional memiliki fungsi sebagai pengatur tingkah laku manusia. Kita diajarkan sejak kecil untuk hormat dan patuh kepada orang tua, kerja sama dalam gotong royong, bersikap sopan, dan berlaku adil. Semua itu lahir dari proses budaya yang panjang. Budaya bukan hanya membuat kita memiliki identitas, tetapi juga memberikan arahan bagaimana kita bersikap sebagai manusia. Di titik ini, budaya memang bisa dikatakan sebagai sumber moralitas.

Budaya juga mempunyai banyak peran penting dalam cara kita berpikir dan bersikap. Lewat budaya, kita mengetahui nilai-nilai apa saja yang penting dalam hidup, seperti kejujuran, keberanian, dan rasa peduli terhadap sesama. Budaya juga membentuk cerita-cerita, mitos, dan kepercayaan yang dipercaya oleh kelompok masyarakat tertentu, yang semuanya turut membentuk cara kita memandang dunia.

Tetapi jangan lupa, budaya juga bisa dijadikan sebagai alat untuk melegalkan sesuatu. Misalnya dalam politik, terkadang ada pemimpin yang memakai budaya untuk membela kebijakan yang sebenarnya tidak adil. Di sinilah budaya menjadi alat legitimasi. Legitimasi sendiri artinya pengakuan atau penerimaan dari masyarakat bahwa suatu tindakan atau keputusan itu sah. Biasanya, legitimasi ini muncul jika pemerintah atau lembaga bersikap adil dan menghormati hak-hak warganya.
Masalahnya, jika budaya terus menerus dijadikan alasan untuk membela kebijakan atau tindakan yang sebenarnya tidak etis, lama kelamaan masyarakat menjadi malas untuk berpikir kritis. Apa pun yang dibungkus dengan label “budaya” langsung dianggap benar, tanpa boleh dipertanyakan. Itu sangat berbahaya. Budaya jadi seperti dogma, yang tidak bisa disentuh atau dikritik, padahal nilai-nilai moral yang sehat itu seharusnya bisa terus berkembang mengikuti zaman.
Padahal, budaya sehat itu bukan budaya yang kaku atau takut berubah. Budaya sehat itu seharusnya fleksibel, bisa berkembang tapi tetap menjaga nilai-nilai dasarnya. Nilai-nilai seperti empati (rasa peduli sama orang lain), keadilan, dan solidaritas sosial (rasa kebersamaan) harus selalu dihidupkan lagi, supaya kita bisa tetap memiliki pegangan di tengah gempuran hoaks dan manipulasi informasi.

Karena itu, pendidikan moral di era post-truth ini penting sekali. Kita diharuskan mengajarkan generasi muda untuk mengerti budaya bukan han6 sebagai tradisi yang harus dilestarikan, tapi juga sebagai bahan refleksi dan dialog. Budaya dapat menjadi alat untuk memahami manusia dan dunia yang terus berubah. Jadi bukan hanya “ikut saja” sama budaya, tapi juga berani berpikir kritis: apa nilai yang benar-benar mau kita jaga dari budaya kita?

Dapat disimpulkan bahwa budaya punya dua sisi. Di satu sisi, budaya dapat menjadi sumber nilai dan moral yang baik bagi manusia. Tetapi di sisi lain, dapat juga menjadi alat pembenaran untuk tindakan-tindakan yang tidak etis.
Kita harus mampu membedakan mana budaya yang benar-benar mendorong kita ke arah kebaikan, dan mana yang hanya dijadikan sebagai tameng untuk kepentingan tertentu. Intinya, nilai etika yang adil dan manusiawi harus tetap jadi dasar utama dalam bersikap.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |