Bukan Sekadar Takdir: Menyingkap Matematika Bencana Batang Toru di Sumatera

1 hour ago 1

Oleh : Leonard Tiopan Panjaitan, MT, CGPS, CPS (Konsultan ESG-Keberlanjutan & Produktivitas, Anggota IS2P)

REPUBLIKA.CO.ID, Menjelang akhir November 2025, air mata tumpah di Tapanuli Selatan. Kecamatan Batang Toru, sebuah lansekap yang seharusnya hijau dan asri, berubah menjadi arena kematian. Banjir bandang menerjang di tengah malam, menyeret puluhan rumah, memutus jembatan, dan yang paling memilukan, merenggut sedikitnya 50 nyawa saudara kita, dengan puluhan lainnya masih dinyatakan hilang.

Saat bencana terjadi, narasi yang muncul di permukaan sering kali seragam: ini adalah kehendak Tuhan, ini adalah “amuk alam” akibat siklon tropis, yang kali ini diberi nama Siklon Senyar, yang menumpahkan hujan ekstrem hingga 300 mm per hari. Namun, berhenti pada narasi curah hujan sebagai penyebab tunggal adalah sebuah simplifikasi yang berbahaya, bahkan menyesatkan.

Sebagai praktisi lingkungan, saya tergerak untuk melakukan “Stress Test Risiko Iklim”, sebuah metode audit forensik lingkungan, untuk menjawab pertanyaan fundamental: Apakah banjir ini murni takdir langit, ataukah ada tangan manusia yang mengubah hujan menjadi bencana? Data berbicara jujur, dan hasilnya menampar kesadaran kita.

Matematika Kehancuran

Menggunakan data curah hujan riil Siklon Senyar dan memodelkannya pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, saya menemukan fakta yang mengejutkan. Hutan tropis yang sehat memiliki kemampuan menyerap air yang luar biasa. Dalam istilah hidrologi, hutan memiliki Koefisien Limpasan (C) sekitar 0,25. Artinya, 75 persen air hujan diserap tanah, hanya 25 persen yang mengalir.

Simulasi saya menunjukkan, jika hulu Batang Toru masih berupa hutan utuh, curah hujan ekstrem 300 mm sekalipun “hanya” akan menghasilkan debit banjir sebesar 156,78 meter kubik per detik (m3/detik). Angka ini jauh di bawah kapasitas tampung sungai alami yang diasumsikan aman pada level 450 m3/detik. Artinya, jika hutan terjaga, air sungai memang akan naik tinggi, tetapi tidak akan menjadi air bah yang mematikan. Masyarakat di hilir akan tetap selamat.

Namun, realitas di lapangan berbeda. Investigasi menunjukkan tutupan lahan di hulu telah berubah drastis akibat aktivitas pertambangan, perkebunan sawit, dan pembukaan infrastruktur. Ketika hutan dikupas, tanah berubah fungsi menjadi seperti “lantai keramik”atau spons tipis yang tak mampu menahan air. Nilai koefisien limpasan melonjak hingga 0,75 atau lebih.

Dampaknya katastropik. Dengan curah hujan yang sama, debit air melonjak drastis menjadi 470,34 m3/detik. Ini adalah kenaikan sebesar 300 persen atau tiga kali lipat dari kondisi alami. Debit raksasa ini melampaui kapasitas sungai, meluap dengan kecepatan arus di atas 2,5 meter per detik, suatu kecepatan yang cukup untuk menghancurkan pondasi jembatan dan menyeret bangunan beton, apalagi tubuh manusia.

Jadi, matematika bencana ini sangat jelas: Hujan adalah pemicunya (trigger), tetapi kerusakan lahan adalah penyebab utamanya (driver). Deforestasi mengubah anugerah hujan menjadi vonis mati.

Read Entire Article
Politics | | | |