
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Muktamar ke-15 Persatuan Ummat Islam (PUI) dibuka dengan gegap gempita di aula utama Smesco, Jakarta.
Tentu saja, bukan hanya karena tata suara yang membuat jantung berdetak lebih cepat dari biasanya, tetapi juga karena kehadiran tokoh di panggung ormas ini: Zulkifli Hasan.
Ya, Pak Zul, Menteri Koordinator Bidang Pangan kita, hadir untuk pertama kalinya di acara akbar PUI.
Ketua Umum PAN dan tokoh Muhammadiyah sejati ini tiba-tiba menjadi bintang panggung, bicara penuh semangat tentang dua kata yang, katanya, bisa menyelamatkan bangsa: ishlah dan cinta.
Baca juga: Ngaduk Dodol di Lebaran Depok, Hamzah: Semangat Budaya Gotong Royong yang Harus Dilestarikan
Dan seperti biasa, kita harus angkat topi. Bukan hanya karena tata suara yang bisa membuat telinga berdzikir sendiri, tetapi juga karena kejelian panitia membaca strategi: hadirkan Pak Zul, dukung ketahanan pangan, lalu sematkan kata “kerja sama strategis.” Selesai sudah.
Semua senang. PUI senang, Pak Zul senang. Bahkan mungkin, Kepala Kepolisian RI, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo pun senang.
Apalagi, namanya disebut berkali-kali sebagai tokoh yang paling rajin hadir di tengah-tengah ormas Islam, termasuk di PUI bersama jajaran penuh.
Tapi mari kita refleksikan sejenak. Pak Zul menyebut ishlah dan cinta sebagai kunci penyelesaian semua persoalan.
Baca juga: Rakernas DMI 2025 Mengangkat Tema Sinergi Umat dan Masjid Mewujudkan Kemakmuran Bangsa
“Dengan ishlah dan cinta, selesai semuanya,” katanya dengan penuh keyakinan dan gaya lembutnya —seperti sedang kampanye, tapi bukan kampanye.
Tentu saja kita bisa tersenyum, lalu bertanya dalam hati: “Sudahkah cinta itu masuk ke kebijakan?” Kesadaran ini barangkali tumbuh dalam diri Pak Zul sejak lama. Tapi mungkin kini ia menyadarinya lebih dalam, setelah tahu dua kata itu jadi jargon dalam Intisab PUI.
Untuk memberi ilustrasi, Pak Zul mengangkat nostalgia tentang masa Orde Baru, dengan semangat seperti anak kos yang mengenang masakan ibu. Katanya, dulu kita punya pesawat terbang, satelit yang pertama, kapal canggih, dan tentu saja, swasembada pangan.
Sekarang? Ia pun membandingkan. Sawahnya masih itu-itu saja, bahkan ratusan ribu hektare lenyap tiap tahun —antara lain menjadi perumahan. Lalu, reformasi yang sudah berusia hampir 30 tahun? “Reformasi tanpa cinta,” katanya, “ya begini hasilnya.”
Baca juga: Efisiensi Anggaran Pemerintah, Hotel di Depok Merugi, Ancaman PHK dan 'Gulung Tikar'
Sebentar, mari kita luruskan. Benar bahwa banyak capaian Orde Baru yang monumental—terutama di bidang pangan dan infrastruktur. Tapi, apakah kita ingin mengulang masa itu sepenuhnya, apalagi di ranah politik, dengan paket lengkap termasuk represi dan pembungkaman?
Reformasi, istilah lain ishlah, mestinya berjalan ke arah perbaikan, bukan sekadar romantisme masa lalu. Tapi ketika ishlah berjalan tanpa cinta, hasilnya ya bisa seperti sekarang: rakyat menonton elite saling berebut kursi, sementara sawah tetap tenggelam saat musim hujan.
Pak Zul juga mengkritik reformasi yang penuh bansos tapi tanpa cinta. “Cinta pemerintah ke rakyat seperti ini hanya pura-pura,” katanya. Pernyataan ini cukup berani. Tapi di era mana, Pak? Bukankah PAN juga ikut dalam banyak rezim yang menjalankan bansos demi partai?
Baca juga: Gubernur Konten Dinilai 'Sesat Pikir', Terkait APBD Jakarta Bisa Gaji Rp 10 Juta per Kepala Keluarga
Namun kita setuju: cinta itu bukan sekadar bansos menjelang pemilu. Cinta itu adalah kehadiran negara yang membangun kemandirian rakyat. Dan di sinilah, menurut Pak Zul, Presiden Prabowo Subianto mulai menghadirkan cinta yang sejati: mengalirkan dana hampir seribu triliun ke desa, lewat koperasi dan program berbasis rakyat.
Kita tentu berharap ini bukan sekadar cinta musiman. Karena cinta sejati itu membangun, bukan menjanjikan. Dan koperasi, jika dikelola serius, bisa menjadi jalan nyata bagi kesejahteraan. Tapi sejarah juga mencatat, betapa koperasi kerap menjadi alat politik, bukan alat produksi.
Yang unik, Pak Zul sang pengusaha tajir juga jatuh hati pada _Intisab_ PUI. Entah karena iramanya yang indah, atau karena isinya yang pas dengan narasi politiknya. “Kalau sudah baca Intisab, berarti sudah jadi PUI,” katanya berseloroh, sambil melirik ke Kapolri yang mungkin kaget: “Lho, saya kapan daftar?” Mereka memang ikut koor membacanya.
Empat prinsip Intisab PUI —Allah sebagai tujuan, ikhlas sebagai prinsip, ishlah sebagai jalan, dan cinta sebagai syiar— bukan sekadar jargon. Jika betul-betul diterjemahkan dalam gerakan, maka ia bisa menjadi arah baru ormas Islam yang tidak hanya pandai berceramah, tapi juga pandai bertani, berdagang, dan membangun desa.
Baca juga: Catatan Cak AT: Amerika-Israel tak Lagi Satu Paket
Namun, mari jujur. Selama ini, kerja-kerja PUI yang berdampak nyata belum terasa luas. Banyak ormas lain sudah lebih dulu terjun ke sawah dan kebun.
Karena itu, jika PUI ingin benar-benar membawa ishlah dan cinta ke masyarakat, maka keterlibatan dalam gerakan ketahanan pangan —seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Gerakan Nasional Wakaf Pangan (GNWP)— adalah langkah yang mesti dipacu, bukan hanya dipidatokan.
***
Pembukaan Muktamar PUI ini luar biasa. 4.500 peserta hadir. Tata suara kelas bioskop. Videotron sebesar semangat para panitia. Tapi tak apa, konsumsi tetap minimalis. Barangkali untuk menyeimbangkan anggaran. Karena memang, tak semua cinta harus disalurkan lewat perut —meski kita tahu, perut yang kosong bisa membuat cinta pun lari.
Semoga, kemewahan pembukaan tak berbanding terbalik dengan kemiskinan dampak. Karena seperti kata Kang Zainal Arifin (Azam), Ketua Umum DPP PUI, Muktamar harus menghasilkan sesuatu yang nyata. Sudah saatnya menyata. Jangan hanya jadi ruang kelas elite, tapi juga ruang harapan rakyat.
Baca juga: Diduga Keracunan MBG di Kota Bogor Melonjak, 210 Siswa Jadi Korban
Dan semoga pula, Wakaf Sawah dan Kebun Nusantara yang digagas bersama GNWP —yang brosurnya tanpa logo PUI— bukan sekadar seremoni, tapi menjadi ladang nyata ishlah dan cinta. Sebuah proyek yang membuat rakyat merasakan dan menikmati manfaat, bukan hanya membaca laporan.
-***
Akhirnya, kita kembali pada dua kata itu: ishlah dan cinta. Di tangan Pak Zul, dua kata itu menjadi alat politik yang manis. Di tangan PUI, dua kata itu semestinya menjadi alat gerakan yang tegas.
Sebab, PUI-lah yang sejak abad lalu telah menyemainya, menanamnya menjadi pohon besar —meski sayangnya, belum sepenuhnya pohon ini berbuah. Barangkali pupuknya minim, atau salah pilih.
Baca juga: Soal Tawuran, Anggota DPD RI Fahira Idris Tawarkan 7 Langkah Konkret
Sebab pula, ishlah tanpa cinta adalah birokrasi. Cinta tanpa ishlah adalah utopia. Tapi jika keduanya menyatu, bukan tak mungkin bangsa ini bisa menanam padi dan harapan sekaligus.
Dan semoga, kelak, di sebuah desa di pelosok Nusantara, ada seorang petani yang —meski tak kenal PUI, tak pernah mendengar Intisab— tersenyum karena panennya dibeli dengan harga layak. Maka saat itulah, ishlah dan cinta benar-benar hidup, bukan sekadar teks sambutan. (***)
Alhamdulillah.
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 14/5/2025/(mantan Sekjen DPP PUI, kini anggota Majelis Masyayikh PUI)