
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di Masjid Darul Falah, Makassar Sulawesi Selatan, Jumat siang 6 Juni 2025, udara masih harum oleh jejak pagi. Minyak wangi masih merebak dari baju gamis jamaah yang baru saja menunaikan salat Idul Adha. Ketupat dan opor masih hangat dalam ingatan.
Belum lama mereka pulang sebentar ke rumah, mengganti baju koko, lalu kembali lagi ke masjid untuk salat Jumat—karena hari raya tetap tidak membatalkan kewajiban mingguan.
Dan, di atas mimbar, berdiri sosok yang suaranya dikenal lebih lantang dari toa masjid: Ustad Dr. H. Muhammad Yahya Yopie Waloni, M.Th. Usianya menjelang 55 tahun.
Baca juga: Idul Adha 1446 H, Pembuktian Pengabdian Kepada Allah SWT
Beliau berkhutbah tentang pengorbanan. Ayat demi ayat, hadits demi hadist, meluncur dari bibirnya seperti biasanya. Suaranya membakar, mengguncang, kadang-kadang juga menyulut kontroversi.
Tapi siang itu, ada ketenangan aneh dalam suaranya. Ia bicara tentang Nabi Ibrahim dan Ismail, tentang ketundukan total pada kehendak Ilahi. Mungkin, tanpa disadari, ia sedang mengisyaratkan sebuah perpisahan.
Lalu—seperti potongan film yang terlalu dramatis untuk kenyataan—suara itu mengecil. Bibirnya seperti masih hendak bicara, tapi suaranya terhisap. Tubuhnya lunglai, kemudian jatuh menggebrak ke lantai mimbar.
Baca juga: Catatan Cak AT: Tiada Peradaban Tanpa Pengorbanan Demi Keadilan
Tak ada efek suara. Hanya kesunyian yang mendadak menggigit. Jamaah panik. Sujud pun tertunda. Shalat Jumat diinterupsi oleh kenyataan: sang khatib tak bergerak. Innalillahi wa inna ilayhi rajiun.
Meninggal di atas mimbar seperti itu adalah cita-cita sebagian pendakwah. Mungkin juga kita. Tapi sedikit yang betul-betul "dijemput" Allah saat masih menggenggam tugasnya.
Yahya Waloni, mantan pendeta yang menjadi pendakwah Islam, tampaknya telah menyelesaikan naskah hidupnya di titik paling dramatis. Di atas mimbar. Dalam khutbah tentang pengorbanan.
Baca juga: Catatan Cak AT Nepotisme Teologis, Menyambut Hari Raya Idul Adha 1446 H
Namun, jangan buru-buru menjadikannya bak malaikat. Sosok ini adalah tokoh yang penuh warna —dan terkadang over-saturasi. Yahya Waloni bukan pendakwah kalem ala Ustaz Abdul Somad atau da’i televisi yang sopan dan rapi seperti Aa Gym.
Ia dikenal sebagai juru bicara Islam "garis keras", bersuara lantang, dan... yah, cukup senang menabrak tembok toleransi. Dalam daftar kontroversinya: menyebut kitab suci agama lain sebagai palsu, sehingga dijatuhi vonis lima bulan penjara karena ujaran kebencian.
Dalam dunia medsos, ia dijuluki “Ustaz Pansos”—alias Panjat Sosial, label sinis yang, ironisnya, malah menambah popularitasnya. Tapi, apakah semua itu membatalkan nilai perjuangannya? Belum tentu. Tentu tidak.
Fakta tak bisa dibantah: ia adalah seorang mualaf yang memilih jalan Islam dengan total. Islam kaffah, bahkan bersama istrinya yang juga muallafah.
Baca juga: Idul Adha, Depok Imbau Warga Gunakan Wadah Ramah Lingkungan untuk Bungkus Daging
Ustadz yang lahir di kota Manado pada 30 November 1970 dari keluarga Kristen Minahasa yang taat ini pernah memimpin sekolah teologi Kristen. Lalu ia meninggalkan semuanya untuk menyatakan syahadat.
Tidak mudah menjadi mualaf di usia matang, apalagi setelah menjadi tokoh dalam agama sebelumnya. Ia kehilangan teman, posisi, dan—mungkin juga—rasa aman. Tapi ia tetap maju. Dalam gaya yang kadang bikin jemaah mengangguk, kadang menggeleng, tapi tak pernah membuat mereka diam.
Dan di sinilah kita perlu jujur: tak semua yang keras itu jahat, tak semua yang lembut itu benar. Yahya Waloni adalah potret Islam yang bergulat dengan realitas pluralisme di Indonesia, tapi punya batasan akidah yang tak bisa ditawar.
Baca juga: Catatan Cak AT: Mitos Belum Dipanggil
Sebagian melihatnya sebagai pembela akidah. Sebagian lagi melihatnya sebagai pembelah harmoni. Ia adalah semacam refleksi keras kepala dari kita semua yang tak selesai berdamai dengan sejarah konversi, trauma kolonial, dan luka-luka teologis.
Tapi apa pun penilaian kita, kematiannya di mimbar adalah simbol yang tidak bisa diremehkan. Bayangkan: ia menghembuskan napas terakhir di hadapan jamaah. Di atas mimbar. Di Hari Raya, persis saat jutaan haji bersatu di padang Arafah. Di sela khutbah tentang pengorbanan. Dan di hari Jumat!
Apakah itu kebetulan? Atau skenario ilahi dengan naskah paling puitis sekaligus suci?
Tubuhnya memang dilarikan ke RS Bahagia—nama rumah sakit yang sangat ironis dalam konteks duka. Tapi bagi sebagian orang, terutama mereka yang percaya bahwa hidup adalah medan jihad ideologis, ia tidak wafat biasa. Ia syahid di jalan dakwah.
Baca juga: Catatan CaK AT: Tragedi Longsor Kreatif Gunung Kuda Cirebon
Dan seperti biasa, setelah jenazah dikafani, media sosial pun mulai mengkafani narasi. Ada yang mengenangnya sebagai pahlawan iman. Ada yang mengecamnya sebagai provokator.
Tapi mungkin, Yahya Waloni akan tersenyum dari alam sana, sebab seperti yang biasa ia ucapkan: “Biar saya yang maki, yang penting kamu mikir.” Kini, setelah ia tak bisa bicara lagi, kita yang mesti berpikir.
Tentang cara menyampaikan dakwah tanpa melukai. Tentang bagaimana menjaga akidah tanpa membakar jembatan kemanusiaan. Dan tentang bagaimana, kadang, satu nyawa yang padam bisa lebih nyaring dari seribu ceramah.
Selamat jalan, Ustaz Yahya Waloni. Akhir hidupmu mungkin bukan akhir damai. Tapi siapa tahu, itu awal dari percakapan baru—yang lebih jujur, lebih terbuka, dan lebih manusiawi, tentu tanpa pernah harus mengorbankan akidah. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 7/6/2025