Catatan Cak QT: Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Menembus Batas (1/5)

12 hours ago 3
 Menembus Batas (1/5). Gaza dalam Kesaksian Jean Pierre Filiu. Foto: Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Menembus Batas (1/5). Gaza dalam Kesaksian Jean Pierre Filiu. Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Bukan dari kursi empuk ruang kuliah, Jean-Pierre Filiu menulis sejarah. Ia memilih Gaza yang hangus, bukan menara gading.

Ia masuk ke wilayah yang dibungkam, demi menyuarakan apa yang tak bisa lagi ditulis oleh mereka yang terbunuh.

Dalam dunia akademik yang sering kali terkungkung dalam menara gading, Jean-Pierre Filiu adalah pengecualian langka.

Ia bukan sekadar sejarawan yang duduk di ruang kelas atau berkutat di balik layar komputer.

Baca juga: Kapolri Harapkan PWI Segera Bersatu, Dukung Kongres Persatuan

Ia termasuk tipe pemikir yang percaya bahwa sejarah tak boleh hanya dikisahkan dari jarak aman – tetapi harus disaksikan langsung dari sumbernya, meski penuh risiko.

Itulah sebabnya, saat sebagian besar dunia memilih membelakangi Gaza, Palestina, Filiu justru melangkah masuk ke sana, menembus blokade, menyatu dalam luka, dan membawa pulang suara-suara yang dibungkam.

Filiu bukan nama sembarangan. Ia gurubesar sejarah Timur Tengah di Sciences Po, Paris – salah satu institusi akademik paling prestisius di Eropa. Selain itu, ia dikenal luas sebagai penulis analisis mingguan tentang dunia Arab di harian Le Monde.

Baca juga: Wali Kota Depok Supian Suri Tegaskan Tugas Pemerintah Sejahterakan Warga

Karya monumentalnya, Gaza: A History (Oxford University Press, 2024), menjadi referensi penting bagi siapa pun yang ingin memahami kompleksitas sejarah Jalur Gaza.

Ia telah menulis banyak buku, termasuk biografi politik tentang Benjamin Netanyahu yang berjudul Main basse sur Israël (2019), sebuah karya yang menggugat tajam politik kolonialisme modern Israel.

Namun kredibilitas Filiu tak hanya berasal dari reputasi akademik atau ketajaman analisis. Kredibilitasnya justru berpijak pada keberaniannya untuk hadir langsung di medan kebenaran.

Baca juga: Fadli Zon Tetapkan Hari Kebudayaan Nasional, Jamiluddin Ritonga: Jangan Gunakan Pendekatan Cocokologi

Desember tahun lalu, ia masuk ke Gaza bukan sebagai turis atau pengamat dari kejauhan, melainkan sebagai saksi hidup, bersama rombongan dokter dari Médecins Sans Frontières.

Ia menyaksikan kehancuran yang tak dapat dijelaskan oleh data semata – kehancuran yang menghancurkan logika, mematahkan nurani, dan mengguncang siapa pun yang masih memiliki sejumput rasa kemanusiaan.

Filiu tidak datang membawa agenda. Ia datang membawa komitmen akademik dan integritas moral. Ia tidak datang sebagai aktivis, tetapi sebagai sejarawan yang tahu bahwa tugas utamanya adalah mengungkap kebenaran, sekompleks dan seterjal apa pun.

Baca juga: Catatan Cak AT: Korupsi Dibilang Rezeki

Ia menuliskan pengalamannya dalam buku Un historien à Gaza yang terbit Mei 2025, dan akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada Januari 2026.

Namun lebih dari sekadar laporan lapangan, karya itu merupakan testimoni sejarah —suara dari reruntuhan, catatan dari bawah puing-puing rumah, dan tangisan anak-anak yang tak tercatat dalam statistik korban.

Filiu bukan hanya menulis tentang Gaza, ia menghayatinya. Ia menyatu dalam kehidupan yang terkepung. Ia mengenal nama-nama, wajah-wajah, dan kisah-kisah pribadi.

Ia tidak berbicara dari balik lensa kamera atau dinding kaca studio berita. Ia berbicara dari tanah yang dipenuhi puing, dari lorong rumah sakit yang kosong, dari tenda-tenda yang menggigil di tengah musim dingin.

Baca juga: Sekolah Rakyat Resmi Dibuka, Harapan Besar Terbukanya Akses Pendidikan Berkualitas

Dan yang paling penting: ia berbicara tanpa kompromi.

Kesaksiannya dimuat Haaretz, salah satu media Israel paling progresif dan berani, dan dikutip pula oleh The Arab Weekly dalam esai tajam yang ditulis oleh Francis Ghiles.

Kedua sumber ini bukan propaganda, bukan agitasi, tetapi refleksi jujur dari orang-orang yang memahami bahwa sejarah tidak boleh dimanipulasi oleh negara atau kekuasaan.

Maka, tulisan ini adalah bagian pertama dari lima seri catatan tentang Gaza, bukan dari kacamata politisi atau diplomat, tetapi dari seorang sejarawan yang menolak tunduk pada narasi resmi.

Baca juga: 14 Penghargaan Diraih Pertamina Patra Niaga di Ajang ISRA 2025

Ia seorang akademisi yang memilih menulis dengan kaki berdebu dan hati terkoyak. Dan justru karena itulah, kesaksiannya menjadi jauh lebih berharga dari semua konferensi pers para pemimpin dunia yang terus-menerus gagal menyebutkan satu kata: kebenaran. (***)

(Bersambung ke Bagian Kedua: "Gaza Tak Lagi Dikenali")

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 16/7/2025

Read Entire Article
Politics | | | |