REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) mendakwa mantan wali kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita, dengan pasal berlapis dalam tiga kasus dugaan korupsi yang melibatkannya. Dakwaan juga menjerat suami Ita, Alwin Basri, selaku eks ketua Komisi C DPRD Jawa Tengah (Jateng) periode 2019-2024.
Meski didakwa pasal berlapis dalam persidangan perdana yang digelar Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (21/4/2025), Ita dan Alwin tidak mengajukan eksepsi. "Yang Mulia, berdasarkan diskusi kami dengan Terdakwa I (Ita) dan Terdakwa II (Alwin), kami menyatakan bahwa kami tidak akan mengajukan eksepsi," kata kuasa hukum Ita dan Alwin, Erna Ratna Ningsih kepada hakim ketua Gatot Sarwadi.
Hakim Gatot kemudian menyampaikan bahwa eksepsi hanya formalitas. "Tentang benar dan tidaknya (dakwaan), itu nanti dalam pembelaan ya," ujar Gatot kepada Ita dan Alwin.
Gatot menjelaskan, persidangan dugaan korupsi Ita dan Alwin akan dilanjutkan pada 28 April 2025. Diwawancara seusai persidangan, kuasa hukum Ita dan Alwin lainnya, yakni Agus Nurudin, mengungkapkan, kliennya memang sengaja tak mengajukan eksepsi.
"Karena biar persidangan bisa berjalan dengan cepat. Nanti minggu depan kita langsung saksi, kita lihat saja nanti saksinya bagaimana keterangannya," kata Agus.
Agus dan Erna Ratna Ningsih mengatakan, secara prinsip mereka menolak semua dakwaan JPU terhadap kedua kliennya. "Meski tadi disampaikan bahwa kami tidak menyatakan eksepsi pada persidangan berikutnya, tapi tadi kita lihat juga bahwa sebenarnya surat dakwaan dari JPU itu tidak cermat karena ada kesalahan tanggal. Kemudian juga mengenai jumlah, kurang nolnya dua," ucap Erna.
Menurut Ratna, dalam dakwaan JPU, digambarkan seolah-olah Ita dan Alwin melakukan dugaan korupsi secara bersama-sama. Padahal Ratna menilai, meski keduanya merupakan suami-istri, jabatan Ita dan Alwin memiliki peran berbeda.
"Sehingga tidak bisa dinyatakan apa yang disampaikan oleh Terdakwa II itu juga merupakan apa yang disampaikan oleh Terdakwa I. Tidak boleh perbuatan pidana karena suami istri, yang melakukan misalnya suaminya, istrinya itu juga terlibat, atau sebaliknya," ujar Erna.
Dalam persidangan perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, JPU mendakwa Ita dan Alwin dengan pasal berlapis. Terdapat tiga dugaan kasus yang menyeret Ita dan Alwin. Dalam kasus pertama, JPU menuduh Ita dan Alwin menerima uang sebesar Rp 3,75 miliar dalam proyek pengadaan meja dan kursi fabrikasi sekolah dasar (SD) di APBD-P Kota Semarang tahun anggaran 2023.
Dalam APBD-P Kota Semarang 2023, anggaran untuk proyek pengadaan meja dan kursi fabrikasi SD adalah Rp 20 miliar. Menurut JPU, fee sebesar Rp 3,75 miliar yang diperoleh Ita dan Alwin adalah bentuk imbalan karena mereka telah mengondisikan agar proyek pengadaan meja dan kursi fabrikasi SD di Pemkot Semarang diperoleh PT Deka Sari Perkasa.
JPU mengungkapkan, dalam proyek tersebut, Ita dan Alwin menerima fee dari Martono selaku Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Semarang sebesar Rp 2 miliar. Selain itu, mereka juga memperoleh fee Rp 1,75 miliar dari Rachmat Utama Djangkar selaku dirut PT Deka Sari Perkasa. JPU juga menyebut Martono sebagai penerima manfaat dari PT Chimarder777 dan PT Rama Sukses Mandiri.
"Bahwa perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP,” kata JPU dalam dakwaannya.
Selain itu, JPU juga mendakwa Ita dan Alwin dengan Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dalam kasus kedua, JPU menuduh Ita dan Alwin telah menerima uang yang bersumber dari 'iuran kebersamaan' para pegawai negeri di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang dengan total Rp 3,08 miliar. Rinciannya, Ita menerima Rp 1.88 miliar dan Alwin menerima Rp 1,2 miliar tau setidaknya sekitar jumlah itu, yang bersumber dari Insentif Pemungutan Pajak dan atau Tambahan Penghasilan Bagi Aparatur Sipil Negara Pemerintah Kota Semarang.
"Berdasarkan Pertimbangan Objektif Lainnya Berupa Insentif Pemungutan Pajak, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui hal tersebut bukan merupakan utang,” kata JPU.