Sejumlah warga melakukan penukaran mata uang asing di money changer PT Valuta Artha Mas, ITC Kuningan, Jakarta, Selasa (8/4/2025). Nilai tukar rupiah dibuka melemah ke posisi Rp16.865 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Selasa (8/4/2025) usai libur Lebaran. Diketahui, penurunan nilai rupiah merupakan dampak dari kebijakan baru Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menerapkan tarif balasan atau resiprokal terhadap ratusan negara. Trump telah mengumumkan tambahan tarif untuk produk impor asal sejumlah negara, termasuk Indonesia sebesar 32 persen yang mulai berlaku penuh per 9 April 2025. Sejumlah mata uang Asia turut melemah. Yuan China melemah 0,17%, rupee India melemah 0,71%, dolar Hong Kong melemah 0,04% dan ringgit Malaysia melemah 0,16%.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nilai tukar rupiah ditutup menguat tipis 3 poin atau 0,02 persen menuju level Rp16.684,5 per dolar AS pada perdagangan Rabu (24/9/2025). Penguatan rupiah dipengaruhi oleh proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi.
“Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau OECD merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. OECD memperkirakan ekonomi mampu mencapai level 4,9 persen pada 2025 dan 2026. Proyeksi itu lebih tinggi 0,2 poin persentase dibanding laporan Juni 2025, dan untuk 2026 lebih tinggi 0,1 poin persentase,” kata Pengamat Mata Uang dan Komoditas Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, Rabu (24/9/2025).
OECD juga memperkirakan tekanan inflasi Indonesia akan terkerek naik. Inflasi di Indonesia diproyeksikan naik tipis dari 1,9 persen pada 2025 menjadi 2,7 persen pada 2026. Penyebabnya, ialah depresiasi kurs rupiah yang terus terjadi.
Ibrahim menerangkan, OECD melihat pelonggaran kebijakan moneter dan investasi publik yang kuat diharapkan dapat mendukung perekonomian Indonesia, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 4,9 persen yang diproyeksikan untuk tahun ini dan tahun depan.
Pelonggaran kebijakan moneter dinilai memberi ruang lebih pada aktivitas ekonomi. Di samping itu, investasi publik yang kuat menopang pembangunan infrastruktur, serta konsumsi domestik yang tangguh dan tetap menjadi motor penggerak utama.
“Selain itu, rebound investasi diperkirakan ikut mendorong momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah perlambatan global,” terangnya.
Namun, lanjut Ibrahim, OECD mengingatkan masih ada sejumlah risiko yang perlu diwaspadai. OECD melihat perdagangan global dapat mengurangi kinerja ekspor Indonesia.