Fenomena Rojali Merebak, Pengusaha Pusat Belanja Ungkap Penurunan Daya Beli Sejak Tahun Lalu

1 day ago 5

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, fenomena masyarakat yang hanya melihat-lihat di pusat perbelanjaan tanpa membeli, atau yang dikenal dengan rombongan jarang beli alias "rojali" sudah terjadi sejak Ramadhan 2025. Menurutnya, hal itu juga berkaitan dengan adanya gejala penurunan daya beli masyarakat sejak 2024.

Alphonzus menjelaskan, pada Ramadhan dan Idul Fitri lalu, yang seharusnya menjadi momentum masyarakat untuk berbelanja justru tidak sepenuhnya tercapai. Ditambah lagi dengan pengetatan belanja pemerintah.

"Setelah Idul Fitri itu kan pasti masuk low season. Nah, low season-nya sekarang ini tambah panjang tahun ini, karena Ramadhan dan Idul Fitri-nya maju. Itulah salah satu juga faktor yang menambah intensitas ataupun jumlah daripada rojali tadi," terangnya.

Meski begitu, Alphonzus menilai fenomena ini tidak akan berlangsung lama. Menurutnya, fenomena tersebut akan berkurang apabila daya beli masyarakat kembali membaik.

"Saya kira tidak akan terus berlanjut, pemerintah kan sekarang sudah mulai banyak memberikan stimulus kebijakan-kebijakan untuk mendorong daya beli. Kalau daya belinya pulih, rojali-nya pasti berkurang," kata Alphonzus.

Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyebut fenomena rombongan jarang beli atau yang dikenal dengan istilah rojali di pusat perbelanjaan bukanlah hal baru. Menurutnya, masyarakat bebas untuk menentukan pilihan untuk berbelanja secara daring ataupun luring. Ia mengatakan melihat sebuah produk di mal dan kemudian membelinya secara daring, adalah cara masyarakat untuk melihat kualitas barang secara langsung.

"Kan kita bebas kan. Saya bilang kan kita tuh bebas mau beli di online, mau beli di offline kan bebas. Kan dari dulu juga ada itu," ujar Budi di Jakarta.

Ia menjelaskan, kebanyakan konsumen ingin melihat sebuah barang secara langsung guna memastikan keaslian, harga dan kualitas. Menurutnya, hal tersebut umum dilakukan dan tidak ada yang salah dengan fenomena ini. Ia juga menekankan pemerintah tidak bisa mengintervensi masyarakat untuk mewajibkan pembelian produk harus dilakukan di mal atau toko fisik lainnya.

"Dari dulu kan begitu, namanya orang mau belanja dicek dulu, yang pengin lihat barangnya bagus kah, harganya seperti apa. Jangan sampai nanti dapat yang palsu, misalnya kan gitu dapat barang rekondisi, makanya dicek barangnya bagus," katanya.

sumber : Antara

Read Entire Article
Politics | | | |