REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan anak muda atau gen Z selama ini kerap disandingkan dengan tren job hopping, yaitu berpindah-pindah pekerjaan atau kutu loncat. Namun, seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan perubahan atmosfer pasar tenaga kerja, tren job hugging alias bertahan di suatu perusahaan kian populer dan menggeser tren job hopping. Kini, job hugging diyakini menjadi pilihan aman bagi gen Z untuk bertahan hidup.
Para pekerja, terutama gen Z, mempertahankan pekerjaan mereka demi keselamatan, bukan karena berkembang pesat, melainkan karena tidak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya. Di tengah pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, harga yang kian meroket, dan ekonomi yang semakin ketat, kekhawatiran di tempat kerja mencapai titik tertinggi sepanjang masa.
Dengan begitu banyak ketidakpastian ekonomi, semakin banyak pekerja menemukan bahwa job hugging dan bertahan di tempat menjadi pilihan lebih aman daripada mengambil lompatan tak terduga untuk meraih peluang baru.
Ketidakpastian pekerjaan memang mengancam, menimbulkan kecemasan, serta berdampak besar pada kesehatan gen Z dibandingkan kehilangan pekerjaan. Namun, ketidakpastian merupakan bagian tak terelakkan dari karier. Tak seorang pun tahu masa depan, sehingga harus hidup dengan ketidakpastian tersebut. Berpegang teguh pada prediktabilitas adalah respons alami ketika pekerjaan dipertaruhkan.
CEO dan Founder Summit Group Solutions sekaligus penulis buku Leading for Impact: The CEO’s Guide to Influencing with Integrity, Jennifer Schielke, mengatakan, job hugging menciptakan ilusi loyalitas, tetapi sebenarnya stagnasi. Jika para pemimpin menganggap rendahnya tingkat pergantian karyawan sebagai kesuksesan, mereka bisa melewatkan pelepasan diri diam-diam yang memicu pengurasan bakat ketika pasar kembali longgar.
“Tren PHK yang muncul setelah apa yang diantisipasi sebagai masa pemulihan dari periode Covid-19 memperparah kurangnya keamanan di pasar yang sudah terdampak,” kata Schielke, dikutip dari Forbes, Rabu (23/9/2025).
“Laporan pekerjaan, keterbatasan anggaran, dan rasa takut yang terus-menerus memasuki ruang kerja kita membuat berpegang teguh pada apa yang dimiliki tampak sebagai langkah logis demi stabilitas dan keamanan. Orang-orang telah pindah, memilih kemampuan jarak jauh, dan mengalami masa ekonomi yang kuat. Sisi sebaliknya dari hal ini meresahkan sebagian besar orang,” lanjutnya.