Indef: Kasus Beras Oplosan Ancam Stabilitas Sosial

2 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai praktik pengoplosan beras, seperti yang baru-baru ini terungkap di Riau, dapat merusak efektivitas kebijakan pangan nasional. Selain menciptakan distorsi pasar, praktik ini juga berpotensi membahayakan stabilitas sosial jika terus dibiarkan.

“Ketika masyarakat menemukan bahwa beras yang mereka beli, bahkan dari program subsidi yang pernah dilakukan uji tidak sesuai mutu atau bobot, maka kepercayaan publik terhadap negara sebagai penyedia pangan akan runtuh,” kata Kepala Pusat Makroekonomi Indef, Rizal Taufiqurrahman, Ahad (27/7/2025).

Ia menegaskan, dalam jangka panjang, praktik seperti ini akan menciptakan ketidakstabilan harga dan memperbesar jurang antara regulasi dan kenyataan di pasar. Negara, menurut dia, harus hadir secara tegas dengan sistem pengawasan yang menutup celah penyimpangan, bukan hanya retorika.

Rizal menjelaskan bahwa modus pengoplosan beras terus terjadi karena lemahnya pengawasan pada titik distribusi akhir, tidak adanya sistem pelacakan yang kredibel, serta longgarnya kontrol terhadap mitra distribusi Perum Bulog.

“Rantai distribusi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang panjang dan tidak transparan menciptakan ruang bagi aktor-aktor di hilir untuk menyisipkan praktik pengoplosan secara sistematis,” ujar Rizal.

Ia menambahkan, absennya sistem peringatan dini berbasis data dan buruknya tata kelola logistik serta sertifikasi penyalur membuat kejahatan ini terus berlangsung. “Selama logika ekonomi masih menguntungkan pelaku, dan sanksi tidak memberikan efek jera, sistem ini akan terus berputar,” katanya.

Karena itu, Rizal menyarankan agar pendekatan pemerintah diubah dari razia dan inspeksi dadakan menjadi pengawasan berbasis sistem yang terintegrasi dan forensik. Ia mendorong digitalisasi distribusi CBP, seperti penggunaan QR code atau barcode yang bisa dipantau publik.

“Pembaruan sistem mitra Bulog, audit berkala, dan pembentukan daftar hitam pelaku oplosan harus menjadi standar kebijakan. Tanpa mekanisme sanksi administratif yang keras seperti pencabutan izin permanen dan pemiskinan korporasi, praktik ini akan terus berulang dengan wajah yang berbeda,” ujarnya.

Rizal menekankan pentingnya kerja lintas lembaga dalam pengentasan kejahatan pangan. Menurut dia, hal ini tidak bisa hanya dibebankan pada satu institusi. Kementerian Pertanian dan Bulog harus bersinergi dalam membangun sistem pemantauan mutu dan distribusi secara real-time.

Selain itu, Aparat Penegak Hukum (APH) dinilai perlu membentuk unit khusus untuk menangani pelanggaran dalam sektor pangan strategis.

“Semua aktor, termasuk pemerintah daerah, harus bekerja dalam satu kerangka pengawasan yang terukur, terpantau, dan dapat diintervensi dengan cepat ketika ada penyimpangan,” ujar Rizal.

Baru-baru ini, praktik curang pengoplosan beras SPHP milik Bulog terungkap di Riau. Seorang distributor lokal berinisial R ditetapkan sebagai tersangka setelah polisi menyita sembilan ton beras oplosan dari sebuah gudang di Jalan Sail, Pekanbaru.

Tersangka R diketahui menjalankan dua modus, yaitu mencampur beras medium dengan beras reject lalu mengemas ulang sebagai beras SPHP, dan memalsukan beras murah menjadi seolah-olah beras premium dengan merek ternama seperti Aira, Family, Anak Dara Merah, dan Kuriak Kusuik.

Barang bukti yang diamankan, antara lain, 79 karung beras SPHP oplosan, empat karung bermerek premium berisi beras rendah mutu, 18 karung kosong SPHP, serta alat produksi seperti timbangan digital dan mesin jahit.

Tersangka dijerat dengan pasal-pasal pelanggaran perlindungan konsumen yang mengancam pidana lima tahun penjara dan denda hingga Rp2 miliar.

sumber : Antara

Read Entire Article
Politics | | | |