Umar Wachid B. Sudirjo
Parenting | 2025-05-18 19:53:43

Oleh: Umar Wachid B Sudirjo
Setiap orang tua tentu berharap yang terbaik bagi anak-anaknya: tumbuh dewasa, menjadi pribadi mandiri, sukses, dan membanggakan. Maka tak jarang harapan itu melahirkan perbandingan. “Lihat anaknya Pak Anu, sudah bekerja dan membahagiakan orang tuanya.” Kalimat seperti ini terdengar ringan, namun bisa menjadi duri di hati seorang anak.
Sungguh, tidak layak menjadikan anak orang lain sebagai cermin harapan terhadap anak sendiri. Anak-anak kita memiliki potensi, jalan, dan waktu tumbuhnya masing-masing. Ketika kita membandingkan, bukan semangat yang tumbuh, melainkan luka. Anak bisa merasa tidak diharapkan, seolah kehadirannya tak cukup berarti.
Ingatlah, sebagaimana tanah liat dari sawah tak akan menjadi patung indah tanpa keterampilan tangan pematung, begitu pula anak-anak tak akan menjadi pribadi yang bernilai tanpa sentuhan cinta, bimbingan, dan ketelatenan dari orang tuanya. Jangan berharap anak menjadi sesuatu, sementara kita sendiri tak pernah benar-benar membentuk mereka.
Jika kita menanam pohon rambutan, maka jangan pernah berharap berbuah durian. Itu bukan kesalahan pohonnya, melainkan kekeliruan kita dalam mengenali dan menerima jenis pohon yang kita tanam. Maka, jangan tuntut anak melebihi kemampuannya. Cintailah mereka sebagaimana mereka adanya. Tugas kita bukan mengubah mereka menjadi orang lain, tetapi membesarkan mereka agar menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Jangan juga berharap pohon berbuah lebat jika kita tak pernah menyiraminya, memupuk, merawat, dan menjaganya. Sebaliknya, bisa jadi ia hanya menjadi pohon besar yang keras batang dan tajam rantingnya — bukan pemberi manfaat, tapi menjadi penghalang. Maka rawatlah anak-anak kita: pupuk dengan kasih sayang, siram dengan keteladanan, lindungi dari yang merusak.
Anak-anak adalah gelas kosong. Jangan harap rasa manis jika yang kita tuangkan adalah empedu. Kata-kata kita, sikap kita, perlakuan kita sehari-hari — itulah isi yang mereka serap. Jangan heran jika mereka tumbuh penuh amarah, takut, atau kecewa, bila yang mereka terima selama ini hanya bentakan, celaan, dan perbandingan yang menyakitkan.
Dan sebelum orang tua mempertanyakan mengapa anaknya begini atau begitu, bertanyalah lebih dulu ke dalam diri: apa yang sudah saya berikan pada anak saya? Apakah saya menjadi teladan? Apakah saya hadir dengan cinta atau hanya hadir untuk menuntut?
Namun di sisi lain, anak-anak pun perlu belajar menerima orang tuanya. Jangan berharap ayah dan ibu seperti orang tua lainnya. Mereka mungkin tak sempurna, tapi mereka adalah alasan kita hidup hari ini. Ibu yang mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat dengan sabar. Ayah yang mencurahkan keringat, tenaga, dan pikirannya — bukan untuk kesenangannya sendiri, tetapi untuk anak-anaknya. Tahukah kita getirnya hidup yang ditelan seorang ayah demi nafkah yang sering dianggap biasa saja?
Peluklah anak-anak kita. Rangkul mereka dengan tulus. Hadirlah untuk mereka bukan hanya sebagai pemberi aturan, tetapi pemberi rasa aman. Dan anak-anak, tersenyumlah untuk ayah dan ibu. Mereka tidak mengharapkan tumpukan materi — mereka hanya ingin melihat anak-anaknya hidup bahagia dan menjadi pribadi yang baik.
Teruslah menjadi orang tua yang layak diteladani, bukan hanya yang gemar menuntut.Dan teruslah menjadi anak yang tahu diri, bukan hanya tahu menilai.
Bila orang tua menjadi panutan, dan anak menjadi pribadi yang menghormati,maka rumah kita akan menjadi taman — tempat bertumbuhnya cinta, bukan luka.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.