Konsep Ilmu dalam Pendidikan Islam (Part 5)

4 hours ago 5

Image Edu Sufistik

Agama | 2025-05-18 23:00:02

Oleh: Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

(Founder Edu Sufistik)

Pada tulisan konsep ilmu bagian keempat sudah dibahas jalur transmisi ilmu dalam Islam. Dari pembahasan tersebut disimpulkan bahwa kunci kesuksesan menuntut ilmu dalam Islam adalah keikhlasan, kesalehan, dan kesungguhan. Dengan mengamalkan ketiganya, insya Allah seorang murid akan memperoleh hikmah. Hikmah melampaui ilmu.

Lantas apakah hikmah itu? Jika kita menelaah makna surat Maryam ayat 12 dan 13 yang menerangkan tentang Yahya ‘alaihissalam yang diberikan Allah hikmah sedari kecil, maka bisa disimpulkan hikmah adalah ilmu yang mengantarkan pada iman, melahirkan ketaatan dan ketundukkan kepada Allah, menjadikan pemiliknya memiliki kearifan, kebijaksanaan, kelembutan hati, dan ketajaman firasat.

Pada surat Al-Baqarah ayat 269, Allah menerangkan orang yang diberi hikmah berarti telah diberikan kebaikan yang banyak.

“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul albab.” (QS. Al-Baqarah [2]: 269).

Orang yang diberikan hikmah itulah ulul albab. Ulu berarti pemilik. Albab bentuk jamak dari lubb, yang berarti inti sesuatu. Dalam konteks ini, akal yang jernih. Akal yang tidak terselubungi oleh “kulit”. Kacang memiliki kulit, isinya itulah lubb. Akal kita juga memiliki kulit yang bisa menyelubungi untuk berpikir jernih, sehingga terjebak dalam sesat logika. Ulul albab adalah orang yang mampu menyingkap selubung-selubung pemikiran itu, sehingga mampu berpikir jernih.

Ulul albab bisa membedakan jalan yang benar dan salah serta baik dan buruk. Kemudian, memilih menempuh jalan-jalan kebenaran dan kebaikan. Dia mampu memahami petunjuk-petunjuk Allah, merenungkan dan menghayati ketetapan-ketetapan-Nya, kemudian melaksanakannya dengan ketundukkan. Demikian Quraish Shihab menjelaskan dalam Tafsir Al-Misbah.

Az-Zamakhsari, dalam Tafsirnya Al-Kasyf, kitab tafsir yang bercorak sufistik, menerangkan bahwa orang yang diberikan hikmah adalah orang yang selaras antara ilmu dan amalnya. Ilmunya menuntunnya pada amal saleh yang diridhai Allah. Ilmunya mengantarkannya pada ketaatan dan kedekatan dengan Allah.

Hari ini barangkali kita kebanjiran orang yang memiliki ilmu, namun defisit orang yang memiliki hikmah. Buktinya sesama orang berilmu bertengkar meributkan hal-hal furu’iyah dalam agama. Sebagian lagi membid’ahkan dan menyesatkan saudaranya sesama muslim tanpa dasar yang benar. Sebagian lagi bahkan saling serang di media sosial. Bahkan, yang lebih buruk lagi orang berilmu yang menjual ilmunya untuk kepentingan dunia. Inilah yang disindir dalam Al-Qur’an sebagai himar intelektual.

“Perumpamaan orang-orang yang diberikan tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 5).

Dalam budaya Arab, himar atau keledai adalah simbol kebodohan dan kedunguan. Jadi, bayangkan orang-orang ahli kitab yang berilmu dan memahami Taurat dengan baik. Namun, karena mereka tidak mengamalkannya, bahkan menjualnya dengan harga yang murah untuk kepentingan kekuasaan dan dunia, mereka itu tidak lebih seperti keledai yang dungu.

Meski khitab ayat itu ditujukan terhadap para ahli ilmu dari Bani Israil, tentu saja ini juga menjadi peringatan bagi orang beriman yang diberikan ilmu pengetahuan agar menggunakan ilmunya untuk semakin mendekat kepada Allah. Mengamalkan ilmunya untuk kebaikan dan kemaslahatan umat. Dengan demikian, Allah akan tambahkan hikmah setelah ilmu.

Oleh karena itu, sedari awal pembahasan dalam tulisan seri Filsafat Pendidikan Islam ini, ditegaskan pentingnya niat dalam menuntut ilmu, urgensi mengiringinya dengan kesalehan. Ilmu sejatinya percikan dari nama Allah Al-Aliim. Karena itu, orang berilmu seharusnya mampu mengenal Allah Al-Aliim. Menjadikannya pusat dan tujuan dalam menuntut dan mengamalkan ilmu. Dengan demikian, hikmah adalah mata rantai tidak terpisahkan yang menjadi muara dari seluruh proses Pendidikan dalam Islam. Untuk sampai pada hikmah, sedari awal di hulunya harus selaras.

Orang-orang berilmu yang sampai pada level hikmah inilah yang disebut ulama (QS. 35: 28). Orang yang dengan ilmunya membuatnya bergetar dan takut kepada Allah, sehingga senantiasa mendekat kepada-Nya. Dan, pantaslah para ulama disebut sebagai pewaris para nabi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |