REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG – Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mulai menindaklanjuti laporan tentang keberadaan tambang nikel di kawasan sensitif Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang diduga membabat hutan dan mengancam ekosistem laut.
“Saya hanya bisa menanggapi sedikit, karena Deputi Gakkum juga sudah menindaklanjuti itu. Kami sedang melakukan pengembangan-pengembangan untuk langkah penegakan hukum,” ujar Sekretaris Utama KLH/BPLH Rosa Vivien Ratnawati saat ditemui di sela Sarasehan 45 Tahun Kalpataru di Kuta, Rabu (5/6).
Pernyataan Vivien merujuk pada langkah awal yang dilakukan Deputi Penegakan Hukum KLH dalam menyelidiki dugaan aktivitas tambang nikel yang berada dekat kawasan konservasi Raja Ampat. Namun hingga kini belum ada penjelasan resmi soal dokumen lingkungan dari perusahaan tambang tersebut.
“Terkait dokumen lingkungan yang harus dimiliki oleh pertambangan nikel ketika ingin beroperasi, saya harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut,”kata Vivien.
Raja Ampat, yang dikenal sebagai salah satu surga biodiversitas laut dunia, terancam oleh ekspansi industri tambang nikel. Data dari Greenpeace menunjukkan pembabatan lebih dari 500 hektare hutan di tiga pulau kecil, yaitu Gag, Kawe, dan Manuran, yang semuanya seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Laporan Greenpeace juga mendokumentasikan sedimentasi di pesisir akibat limpasan tanah dari aktivitas tambang, yang berpotensi merusak terumbu karang dan kehidupan laut Raja Ampat.
Selain tiga pulau tersebut, tambang juga mengancam Pulau Batang Pele dan Manyaifun, yang berjarak hanya sekitar 30 kilometer dari kawasan Piaynemo yang ikonik.
“Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampung saya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele,” ujar Ronisel Mambrasar, anggota Aliansi Jaga Alam Raja Ampat dikutip dari laman Greenpeace.
“Tambang nikel mengancam kehidupan kami. Bukan cuma akan merusak laut yang selama ini menghidupi kami, tambang nikel juga mengubah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik.”
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan pada Selasa (3/6) menyatakan pihaknya akan memanggil pemegang izin tambang nikel untuk evaluasi. Namun, di tingkat lokal, pemerintah daerah merasa tak berdaya.
“Kewenangan pemberian dan pemberhentian izin tambang nikel berada pada pemerintah pusat di Jakarta,” kata Bupati Raja Ampat Orideko Burdam, Sabtu (31/5).
Hal itu, lanjutnya, menyebabkan pemda kesulitan melakukan intervensi terhadap aktivitas tambang yang diduga mencemari hutan dan lingkungan.
Greenpeace Indonesia menilai situasi ini sebagai bukti kegagalan arah kebijakan hilirisasi nikel yang digadang-gadang pemerintah.
sumber : Antara