REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) Yulia Suryanti mengatakan pemerintah mulai mengakomodasi kebutuhan komunitas disabilitas dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Yulia menjelaskan perubahan iklim merupakan dampak dari pembangunan dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan negara-negara maju sejak era pra-industri.
“Penyebabnya adalah dulu di tahun-tahun pra-industri negara-negara maju melakukan pembangunan yang menghasilkan emisi gas rumah kaca dan dampaknya terjadi saat ini,” katanya dalam webinar Dampak Perubahan Iklim dan Pentingnya UU Perubahan Iklim bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia, Selasa (29/4/2025).
Yulia menjelaskan, sebagai bagian dari tugas pemerintah, KLH/BPLH berperan menyusun program, kebijakan, dan aksi yang mendukung implementasi Paris Agreement. Dokumen Paris Agreement, menurut Yulia, tidak hanya menjadi acuan global, tetapi juga mengakomodasi inisiatif tematik khusus, termasuk isu penyandang disabilitas. “Di preamble Paris Agreement, ada cantolan untuk isu-isu spesifik seperti ini,” katanya.
Preamble dalam Perjanjian Paris merupakan bagian pembuka atau pendahuluan dari dokumen perjanjian tersebut. Preamble berisi pernyataan tujuan, prinsip, dan konteks umum yang menjadi dasar dan landasan bagi isi perjanjian.
Yulia menambahkan Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dan mengembangkan berbagai perangkat kebijakan, termasuk Nationally Determined Contribution (NDC) dan Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR).
Dalam dokumen-dokumen tersebut, ketahanan ekonomi, sosial, dan ekosistem menjadi prioritas, dengan perhatian khusus pada kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas.
“LTS-LCCR bukan dokumen kaku, tapi visi jangka panjang yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk komunitas disabilitas,” jelas Yulia.
Dokumen ini juga menjadi payung bagi kementerian dan lembaga dalam merancang aksi perubahan iklim hingga tahun 2050, termasuk target nol emisi pada 2060. Dalam hal perencanaan, pemerintah mengembangkan sistem informasi dan perangkat seperti SIDIK untuk menginventarisasi dampak perubahan iklim.
Namun, Yulia mengakui sistem indeks kerentanan saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan komunitas disabilitas.
"SIDIK sedang direvitalisasi dengan memasukkan indikator sosial demografi untuk komunitas disabilitas, jadi ini kami telah masukkan sebagai bagian mengidentifikasi kerentanan, mengidentifikasi dampak dan risiko yang akan dihadapi akibat perubahan iklim," ujarnya.
Selain itu, KLH/BPLH telah meluncurkan Program Kampung Iklim (Proklim) yang berbasis komunitas untuk memperkuat kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Proklim juga mengintegrasikan kelompok rentan melalui indikator partisipasi vulnerable groups, termasuk anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Contoh nyata penerapan Proklim inklusif adalah di Desa Seriwudari, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di sana, kelompok kerja iklim melibatkan penyandang disabilitas secara aktif dalam aksi mitigasi dan adaptasi. “Proklim membumikan bahasa langit, menjawab tantangan perubahan iklim dengan aksi nyata di tingkat komunitas,” kata Yulia.
Meski demikian, Yulia mengakui masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Tingkat literasi perubahan iklim di pusat dan daerah masih rendah, sehingga pemahaman dan implementasi kebijakan belum optimal. Selain itu, pengukuran dampak adaptasi sangat kompleks dan bersifat lokal, berbeda dengan mitigasi yang dapat diukur dengan satuan karbon dioksida ekuivalen.