REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong percepatan pembangunan dan pemerataan industri di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu langkah strategisnya adalah penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Perindustrian (R-Permenperin) tentang Kawasan Industri Tertentu (KIT).
Direktorat Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional (Ditjen KPAII) Kemenperin baru-baru ini menggelar konsultasi publik mengenai rancangan tersebut di Batam, Kepulauan Riau. Kegiatan ini juga merupakan bagian dari regulasi turunan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perwilayahan Industri.
"Rancangan Permenperin ini diharapkan menjadi solusi dalam mengakomodasi kebutuhan pengembangan kawasan industri dengan karakteristik khusus, termasuk keterbatasan lahan dan kawasan tematik,” ujar Direktur Jenderal KPAII Kemenperin, Tri Supondy, dalam keterangan resmi yang dikutip Jumat (6/6/2025).
Ia menjelaskan, pendekatan perwilayahan industri sangat strategis dalam pembangunan sektor industri nasional. Hal ini didorong oleh kontribusi signifikan sektor industri manufaktur terhadap perekonomian Indonesia.
"Selama lima tahun terakhir, industri pengolahan nonmigas tumbuh stabil 4–5 persen (year on year). Kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional juga konsisten di atas 16 persen, bahkan mencapai 17,50 persen pada kuartal I 2025,” jelasnya.
Saat ini, pengembangan kawasan industri dilakukan melalui Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2035 dengan membentuk Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI), Kawasan Peruntukan Industri (KPI), serta Kawasan Industri dan Sentra IKM. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian mewajibkan seluruh aktivitas industri berlokasi di dalam kawasan industri.
Hingga Mei 2025, tercatat 170 perusahaan kawasan industri telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI), dengan total lahan mencapai 94.841 hektare dan tingkat keterisian sebesar 59,52 persen.
Rancangan Permenperin ini memberi arahan lebih detail untuk pengembangan kawasan industri di bawah 50 hektare dengan kondisi tertentu, seperti kebutuhan kawasan tematik (misalnya untuk industri hasil tembakau, perikanan, tekstil, dan digital), keterbatasan lahan KPI dalam satu hamparan, serta kawasan strategis seperti KEK dan KPBPB.
Regulasi ini juga membuka ruang bagi kawasan industri yang sudah beroperasi sebelum 2015 untuk memperoleh pengakuan legal melalui mekanisme pasal peralihan, termasuk kawasan di Batam dan wilayah sejenis.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang KEK, Kawasan Industri, dan Proyek Strategis Nasional, Akhmad Ma’ruf Maulana, menyebut kebijakan ini sebagai bentuk keberanian pemerintah dalam menyesuaikan regulasi dengan realitas lapangan.
Senada, Wakil Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Wilayah Kepulauan Riau, Peters Vincent, menambahkan bahwa posisi strategis Batam dekat dengan Singapura dan Malaysia, serta dukungan infrastruktur memadai, menjadikan kawasan industri skala kecil sangat potensial untuk dikembangkan.