Kesalehan Ritualistik

18 hours ago 5

Image Luthfi Ibrahim

Sastra | 2025-05-28 18:47:25

Potret art

Sebuah refleksi tentang makna ibadah di tengah realitas sosial, terinspirasi oleh mahakarya A.A. Navis. Seringkali kita menyaksikan, atau bahkan mungkin mengalami sendiri, betapa ritual ibadah menjadi fokus utama dalam menjalankan kehidupan beragama. Shalat lima waktu tak pernah bolong, puasa Senin-Kamis dijalani, lantunan ayat suci terdengar merdu setiap hari. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan merenung: apakah kesalehan yang kita bangun hanya sebatas ritual-ritual tersebut? Sebuah cerpen legendaris karya A.A. Navis, "Robohnya Surau Kami," menyajikan kritik tajam nan abadi terhadap pemahaman kesalehan yang sempit ini.Cerpen ini, meski ditulis puluhan tahun silam, gaungnya masih relevan hingga kini. Kisahnya berpusat pada seorang Kakek tua, penjaga surau yang taat beribadah. Hidupnya didedikasikan untuk mengurus surau dan menjalankan segala ritual keagamaan dengan tekun. Namun, ironisnya, ia meninggal dalam keadaan tragis, bunuh diri setelah mendengar cerita provokatif dari Ajo Sidi.Ajo Sidi, seorang tukang bual, mengisahkan tentang Haji Saleh, seorang yang seumur hidupnya hanya beribadah, berdoa, dan berzikir. Ketika meninggal dan dihadapkan pada Tuhan, Haji Saleh dengan penuh percaya diri menyangka surga adalah tempatnya. Namun, Tuhan justru melemparkannya ke neraka. Alasannya? Karena Haji Saleh hanya mementingkan ibadah ritualnya semata, lalai akan tanggung jawab sosialnya, membiarkan anak-cucunya kelaparan dan bangsanya terbelakang. "Salahmu adalah karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri," begitu kata Tuhan dalam cerita Ajo Sidi. "Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya."Kesalehan Ritualistik: Antara Pengabdian dan PengabaianKisah Kakek dan Haji Saleh dalam "Robohnya Surau Kami" adalah cerminan dari apa yang bisa disebut sebagai kesalehan ritualistik. Ini adalah bentuk kesalehan yang menekankan pada pelaksanaan ibadah-ibadah formal dan ritual semata, seringkali tanpa diimbangi dengan penghayatan makna yang mendalam dan implementasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sosial.Tentu, menjalankan ritual ibadah adalah tiang pancang penting dalam setiap agama. Ia adalah wujud ketaatan, disiplin spiritual, dan cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Namun, cerpen Navis ini mengingatkan kita akan bahaya jika kesalehan berhenti hanya pada seremoni.Fokus pada Diri Sendiri: Ibadah dilakukan lebih karena motif pribadi (takut neraka, ingin masuk surga) tanpa kepedulian terhadap kondisi sekitar. Kakek dan Haji Saleh adalah contoh individu yang tenggelam dalam ibadahnya hingga mengabaikan tanggung jawab sosial dan keluarga.Mengabaikan Konteks Sosial: Agama seolah terpisah dari realitas kehidupan sehari-hari. Padahal, ajaran agama semestinya menjadi panduan untuk berinteraksi dan membawa kebaikan bagi sesama dan lingkungan.Pemahaman Sempit tentang Ibadah: Ibadah dimaknai sebatas ritual formal, sementara bekerja keras untuk menafkahi keluarga, membantu sesama, atau berkontribusi pada kemajuan masyarakat tidak dianggap sebagai bagian dari ibadah yang bernilai.Potensi Kehilangan Makna: Ketika ritual menjadi rutinitas tanpa jiwa, ia berisiko menjadi kosong dan tidak berdampak pada pembentukan karakter dan perilaku luhur."Robohnya Surau Kami" tidak mengajak kita untuk meninggalkan ritual ibadah. Sebaliknya, cerpen ini mengajak kita untuk melengkapi dan memperluas makna kesalehan. Kesalehan yang sejati semestinya bersifat holistik, mencakup hubungan vertikal dengan Tuhan (habluminallah) sekaligus hubungan horizontal dengan sesama manusia (habluminannas) dan alam (habluminalalam).Pesan penting dari A.A. Navis adalah bahwa ibadah ritual harusnya berbuah pada akhlak mulia dan tindakan nyata yang bermanfaat. Kesalehan ritualistik yang egois dan abai terhadap sesama, sebagaimana digambarkan dalam tokoh Haji Saleh, justru dipertanyakan nilai dan keabsahannya di hadapan TuhanKritik dalam cerpen ini mendorong kita untuk merefleksikan praktik keberagamaan kita.

Beberapa ciri kesalehan ritualistik yang dapat kita petik dari cerita tersebut antara lain:

Sudahkah ibadah ritual kita berdampak positif pada perilaku dan interaksi sosial kita?

Apakah kepedulian kita terhadap sesama sebanding dengan ketekunan kita dalam menjalankan ritual?

Bagaimana kita menyeimbangkan antara kesalehan individual dengan tanggung jawab sosial kita?

"Robohnya Surau Kami" adalah pengingat abadi bahwa surau (simbol tempat ibadah) tidak boleh roboh dalam artian kehilangan fungsi sosialnya. Ia harus menjadi pusat spiritual yang memancarkan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan kepedulian. Kesalehan yang sejati adalah kesalehan yang hidup, yang tidak hanya terlihat dari khusyuknya rukuk dan sujud, tetapi juga dari ringannya tangan untuk menolong dan tulusnya hati untuk berbagi. Sebab, Tuhan tidak hanya "mabuk disembah saja," tetapi juga menuntut kita untuk menjadi khalifah yang membawa rahmat bagi seluruh alam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |